Sabtu, 15 Maret 2014

SANG PRIBUMI

Lahir bukan atas kemauanku
Menapakkan kaki dibelantara bumi manusia
Yah, bumi manusia dengan segala persoalannya

Takdir yang sangat kusesali
Belenggu hina menggerogoti jasad-jasad yang hidup ini
Memaksaku memendam nista seorang pribumi
Manusia berotak tapi tak berakal

Raga yang tiada daya dan upaya
Dirantai erat oleh kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan
Menjadikan diriku sampah-sampah peradaban
Tak lebih dari binatang yang berpikir
Tiada yang lebih menyakitkan daripada sebuah keterbatasan

Ah, keagungan pikiranmu ini seharusnya bisa membuka mata hatimu
Betapa kelamnya penjara perbudakan di negeri ini
Waktu, tenaga, dan pikiran kami habis diabadikan menjadi hambamu
Bahkan raga yang bergerak ini telah kehilangan jiwanya
Dirampas dengan cara yang tidak manusiawi

Yah, hidupku hanya lakon boneka dalam sandiwara kekuasaanmu

Rabu, 25 Desember 2013

FORMULASI KEBIJAKAN

BAB I
PERANAN METODOLIGI ANALISIS KEBIJAKAN
DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
Komunikasi dan penggunaan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan adalah sentral dalam praktik dan teori analisis kebijakan. Hanya jika pengetahuan  tentang proses pembuatan kebijakan dikomunikasikan di dalam proses tersebut para pelaku kebijakan dapat menggunakan tersebut untuk memperbaiki kebijakan publik. Sementara itu metodologi analisis kebijakan adalah sistem standar, aturan, dan prosedur untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan mempunyai bebrapa karakteristik utama : perhatian yang tinggi pada perumusan dan pemecahan masalah, komitmen kepada pengkajian baik yang sifatnya deskriptif maupun kritik nilai, dan keinginan untuk meningkatkan efisiensi pilihan di antara sejumlah alternatif kebijakan. Adapun pengetahuan dipahami sebagai suatu kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel) dibandingkan kepastian. Probabilitas statistik memainkan peranan sekunder atau pendukung dalam menegakkan klaim pengetahuan yang plausibel.
Evolusi analisis kebijakan lebih dari 50 tahun yang silam telah menghasilkan kesepakatan besar tentang metodologi yang tepat. Hal ini terlihat dalam perubahan historis dalam melakukan penilaian tentang masalah-masalah sosial, ketidakpuasan terhadap positivisme logis sebagai teori pengetahuan, dan tanggapan terhadap pelajaran yang diambil dari penelitian yang dilakukan tehadap program-program sosial selama masa masyarakat besar (the great society). Berdasarkan atas pengalaman ini dan pengalaman-pengalaman lainnya, metodologi analisis kebijakan telah digeser dari sederatan disiplin-disiplin ilmu sosial yang berdiri sendiri sintesis lintas disiplin yang disebut multiplisme kritis. Multiplisme kritis didasarkan pada prinsip triangulasi dan beberapa tuntunan atau aturan penting : operasionalisme berganda, riset multimetode, sintesis analitis berganda, dan komunikasi multimedia. Semua tuntunan tersebut tidak perlu diobservasi dalam setiap analisis.
Tipe informasi yang dihasilkan oleh analis kebijakan adalah masalah kebijakan, masadepan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Kelima tipe tersebut diperoleh melalui lima prosedur analisis kebijakan, yaitu perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Prosedur-prosedur analisis kebijakan tersebut berhubungan dengan metode-metode atau teknik-teknik tertentu yang membantu menghasilkan tipe informasi tertentu. Informasi yang didasarkan pada pernyataan pengetahuan menjadi pengetahuan (kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal) setelah pernyataan tersebut bertahan dari kritik, tantangan, dan sanggahan yang ditemui dalam debat kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini dapat divisualkan sebagai proses pembuatan kebijakan, yang memiliki lima tahap penting : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Prosedur analisis kebijakan tertentu tepat untuk menghasilkan informasi pada tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan.
Analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya memperbaiki proses pembuatan kebijakan.  Sebelum informasi yang relevan dengan  kebijakan dapat digunakan oleh pengguna yang dituju, informasi tersebut harus dirakit dalam bentuk dokumen yang relevan dengan kebijakan dan dikomunikasikan dengan berbagai bentuk presentasi. Seluruh proses komunikasi kebijakan mempunyai empat tahap: analisis kebijakan, pengembangan isi pengkomunikasian yang interaktif, dan pemanfaatan pengetahuan. Keterampilan yang diperlukan untuk membuat dokumen kebijakan dan presentasi lisan berbeda denga keterampilan yang diperlukan dalam melakukan analisis kebijakan. Pemanfaatan pengetahuan oleh pelaku kebijakan adalah merupakan proses yang kompleks yang terdiri dari tiga dimensi yang saling bergantung : komposisi pemakai, efek penggunaan, dan lingkup pengetahuan yang digunakan. Interaksi antara tiga dimensi itu menjadi dasar menilai dan memperbaiki peranan analisis kebijakan dam prises pembuatan kebijakan.
Analisis kebijakan tidak bermaksud mengganti politik dengan menegakkan semacam elit teknokratis. Tujuan demikian bukan saja tidak perlu dalam negara demokratis. Hal semacam ini juga tidak perlu terjadi dalam lembaga-lembaga saat ini yang ditandai oleh berbagai bentuk kacaunya kognisi, keputusan yang terputus-putus, sistem interpretasi yang kusut, dan anarki yang terorganisasi. Dalam mempromosi pemanfaatan pengetahuan yang releven dengan kebijakan, analisis kebijakan berusaha untuk memudahkan proses belajar induvidual dan kolektif, termasuk memperbaiki kebijakan, melalui interaksi komunikasi dan debat politik.
BAB II
METODOLOGI, METODE, DAN TEKNIK ANALISIS KEBIJAKAN
Analisis kebijakan dalam pengertiannya yang paling luas melibatkan hasil pengetahuan tentang dan didalam proses kebijakan. Usaha awal penetapan peraturan yang sah, aktivitas penasehat kerajaan pada abad pertengahan, pekerjaan statistik abad sembilan belas, dan penerapan analisis sistem pada saat ini adalah cocok dengan defenisi yang luas dari analisis kebijakan. Secara historis, tujuan analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan pemecahan masalah kebijakan. Dengan demikian, analisis kebijakan memiliki dasar orientasi praktis yang dalam banyak hal menjadikannya sama dengan ilmu sosial terapan. Metodologi, metode, dan teknik analisis kebijakan telah berubah dengan nyata sepanjang sejarah. Tetapi analisis kebijakan secara eksplisit hanya menjadi empiris dan kuantitatif pada periode setelah revolusi industri. Ketikan analisis kebijakan abad dua puluh mengikuti tradisi yang telah ditetapkan pada abad sebelumnya, lima puluh tahun yang lalu telah telihat peningkatan profesionalisasi analisis kebijakan dan pelembagaannya di pemerintahan. Pada periode setelah Perang Dunia II pendekatan analysentrik mulai mendominasi analisis kebijakan.
Evolusi analisis kebijakan umumnya telah mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Salah satu perubahan besar di dalam masyarakat adalah tubuhnya wilayah perkotaan di Mesopotamia dan kemudian di India, China, dan Yunani. Pada periode abad pertengahan peradaban perkotaan menjadi lebih kompleks dengan adanya diferensiasi dan spesialisasi peran analisis kebijakan terutama permasalahan keuangan, perang, dan hukum. Transformasi utama di dalam produksi pengetahun kebijakan terjadi sebagai akibat dari Revolusi Industri dan  Jaman Pencerahan, keduanya diikuti oleh pertumbuhan stabilitas politik di antara kekacauan sosial. Pada abad duapuluh analisis kebijakan mengalami perkembangan, pertama untuk menanggapi kelesuan ekonomi dan perang, dan kemudian sebagai reaksi terhadap pemerintah yang tumbuh secara dramatis. Sesudah Perang Dunia II kita melihat pertumbuhan masyarakat pasca-industri di mana kelas teknis-profesional yang terdidik telah mencapai posisi menonjol yang tidak terduga seperti periode sebelumnya.

Terdapat sedikitnya dua cara untuk menjelaskan evolusi sejarah analisis kebijakan dari dulu hingga saat ini. Menurut salah satu pendekatan (bimbingan teknokratis) pengetahuan kebijakan adalah sumberdaya langka yang kepemilikannya dapat meningkatkan kekuatan dan pengaruh analis kebijakan yang profesional. Pendekatan yang lain (konseling teknokratis) sebaliknya menyatakan bahwa peran utama analis kebijakan adalah untuk mengesahkan keputusan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Masing-masing pendekatan membantu didalam beberapa hal untuk menjelaskan perubahan sejarah, tetapi keduanya cenderung untuk melebih-lebihkan kekuasaan dan pengaruh analis kebijakan dengan alasan yang berbeda. Pendekatan bimbingan teknokratis terlalu berlebihan menilai pengaruh analis di dalam membentuk pilihan kebijakan yang penting, sebaliknya pendekatan konseling teknokratis salah dalam menilai kepentingan simbolis dari analis dalam mengesahkan keputusan kebijakan yang dibuat pada dasar-dasar politik.
Apapun keputusan akhir dari kontorversi tersebut, adalah jelas bahwa lingkungan masyarakat pada saat ini dan masalahnya telah berubah secara dramatis. Usaha-usaha untuk mengembangkan prosedur yang baru dan lebih baik untuk hasil informasi yang akan memberi sumbangan kepada resolusi permaslahan publik bukanlah semata-mata tugas intelektual ataupun tugas ilmiah, tetapi pada dasarnya bersifat politis. Analisis kebijakan melekat di dalam proses politik yang merefleksikan konflik nilai dari beberapa kelompok masyarakat yang memperjuangkan visi mereka sendiri tentang pengembangan sosial.








BAB III
KARAKTERISTIK DAN PERANAN ANALISIS KEBIJAKAN
DALAM MEMECAHKAN MASALAH
            Sebagai suatu disiplin terapan, analisis kebjakan mengambil dari berbagai disiplin yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan normatif. Analisis kebijakan meminjam tidak hanya dari ilmu social dan perilaku, tetapi juga dari administrasi publik, hokum, filsafat, etika dan cabang-cabang sistem analisis dan matematika terapan. Analisis kebijakan di harapkan untuk menghasilakan dan mentransformasikan informasi tentang nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan. Ketiga macam tipe informasi tersebut di hubungkan dengan tiga pendekatan analisis kebijakan, yaitu: empiris, evaluatif, dan normatif. Rekomendasi merupakan proses rasional dimana para analisis memproduksi informasi dan argument-argumen yang beralasan tentang solusu-solusi yang potensial dari masalah-masalah publik. Advokasi kebijakan (policy advocacy) tidak harus dicampuradukan dengan pertimbangan emosional, proram ideologis, ataupun aktivisme politik yang sederhana.
Prosedur-prosedur yang paling untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan (deskripsi, prediksi, evaluasi, preskripsi) dapat di bandingakan dan di pertentangkan menurut waktu kapan prosedur-prosedur tersebut digunakan (sebelum vs. sesudah tindakan) dan jenis pertanyaan yang sesuai (empiris, valuatif, normative). Prosedur-prosedur umum tersebut berhubungan dengan prosedur-prosedur analisis kebijkan seperti pemantauan, peramalan, evaluasi, dan rekomendsi. Sebagai tambahan satu metode analisis kebijakan tidak mempunyai hubungan langsung dengan satu prosedur umum, yaitu perumusan masalah. Meode-metode analisis kebijakan secara hierarkis berhubungan dan saing tergantung. Beberapa metode analisis kebijakan (sebagai contoh, pemamtauan) dapat diguanakan secara sendirian, semenatara yang lain (sebagai contoh evalusi) harus didahului dengan penggunaan metode lainnya. Rekomendasi harus didahului dengan penggunaan metode pemantauan, evaluasi, dan peramalan. Setiap rekomendasi merupakan suatu penggabungan antara  premis factual dan premis nilai.

Pengetahuan tentang apa itu fakta, apa itu nilai, dan apa yang dilakukan (tindakan) mengahruskan penggunaan berbagai metode pengkajian dan argumentasi untuk memproduksi dan mentransformasikan informasi mengenail masalah kabijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Para analisis kebijakan berusaha tidak hanya untuk memproduksi informasi tetapi juga untuk mentransformasikan informasi tersebut sebagai bagian dari klaim pengetahuan dan argument kebijakan. Argument-argumen kabijakan mencerminkan alas an mengapa kelompok-kelompok masyrakat tidak setuju pada alternative tindakan tertentu yang dapat diambil pemerintah dan menjadi sarana utama untuk melangsungkan debat tentang isu-isu publik. Setiap arguemen kebijakan mempunyai enam elemen: informasi yang relevan dengan kebijakan, klaim kebijakan, pembenaran, dukungan , hambatan, dan penguat. Hubungan diantara elemen-elemen tersebut menunjukan bagaimana informasi dapat ditransformasikan ke dalam keyakinan (pengethuan) yang murni dan masuk akal.
            Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan suatu proses kognitif, sementara pembantuan kabijakan bersiafat politis. Banyak factor selain dari metedoligi yang menentukan cara-cara bagaimana analisis kebijakan digunakan dalam proses pembuatan kabijakan. Para analisis kebijakan merupakan satu dari banyak tipe pelaku kabijkan lainnya dalam sistem kebijakan. Isu kebijakan yang ada merupakan hasil dari definisi-definisi yang diperdebatkan mengenai amsalah kebijakn. Definisi mengenai masalah-masalah kebijakan dibuat dengan pola keterlibatan pelaku kebijakan yang berbeda dan tangapan mereka terhadap lingkungan kebijakan yang sama. Sistem kebijakan bersifat dialektis. Sistem kebijakan merupakan kreasi subyektif dari para pelaku kebijakan: sistem kebijakan merupakan realitas objektif: dan tanggapan mereka terhadap lingkungan kebijakan yang sama. Sebagai suatu proses pengkajian, analisis kebijakan terdiri dari tiga elemen: metode analisis kebijakan, komponen informasi kebijakan, dandan transformasi informasi kebijakan, meyode-metode dan infomrasi bersifat saling bergantung. Proses analisis kebijakan dapat diterangkan sebagai logika yang terkontruksi dan logika terpakai. Logika terpakai dari seorang analisis dapat dipengaruhi oleh kendala waktu dan sumber daya, gaya kognitif, dan sosialisasi professional.
           

            Terdapat tiga bentuk utama analisis kebijakan, retrospektif, prospektif, dan terintegrasi. Perbedaan diantara bentuk-bentuk utama tersebut memebantu kita dalam memahami isu-isu tak terpecahkan dari analisis kebijakan: pentingnya waktu, hubungan antara teori keputusan deskriptif dan normative, peranan teori dan praktek, dan arti pemecahan masalah. Kerangka yang terintegrasi menyediakan kita metedologi untuk analisis kebijakan yitu, suatu alat untuk menerapkan standar, aturan dan prosedur dalam melakuakan analisis kebijakan. Kerangka kerja tersebut juga bermamfaat sebagai perantara dalam mensintesiskan asumsi-asumsi dan pendekatan yang berbeda-beda terhadap analisis kebijakan yang digunakan dewasa ini.
















BAB IV
STRUKTUR ARGUMEN KEBIJAKAN
            Ada dua pendekatan yang berlawanan untuk mendefinsikan pengetahuan: “esensialis” dan “plausibilitas”. Untuk dapat di pandang sebagai pengetahuan, keyakinan tidak harus pasti: keyakinan dapat bersiafat plausible secara optimal dalam konteks tertentu dan masih berkualitas sebagai pengetahuan. Dalam konteks kehidupan nyata jarang seandainya mungkin dapat ditentukan bahwa suatu kebijakan harus sekaligus bersifat memadai untuk terwujudnya suatu hasil kebijakan. Pengetahuan yang siap pakai atau yang relevan dengan kebijkan mengandung pernyataan kebenaran yang secara plausible optimal yang dibuat dengan keterlibtan langsung atau tersembunyi didalam proses komunikasi, argumentasi dan debat kebijkan. Ketika dipertentangkan dengan analisis kebijkan yang standar, kelebihan utama dari cara argument structural adalah bahwa cara itu bersifat interpretative, multiaional, kritis, transktif, etis, dan multicara.
            Criteria untuk mengkaji plausibilitas argument kebijakan meliputi kelengkapan, konsonansi, kohesivitas, regularitas fungsional, dan kesederhanaan , kehematan dan ketetapan fungsional. Sistem criteria ini dapat di terapkan pada banyak cara argument kebijakan dan relevanterhadap standar, aturan dan prosedur yang dipakai para pakar maupun orang awam. Pernyataan yang designatif, evaluative, dan advokatif berkaitan dengan tiga pendekatan analisis kebijakan sebagaimana dididskusiakan sebelumnya, yaitu pendekatan empiric, valuatif, dan normative. Petrnyataan kabijakan menyajikan kesimpulan dari suatu argument atau debat kebijakan. Infomasi kebijakan yang sama dapat mengarah ke pernyataan kebijkan yang sama sekali berbeda, tergantung pada asumsi yang terkandung dalam suatu argument kebijakan. Asumsi mencerminkan kerangka referensi, teori, atau pandangan hidup dari analisis dan merupakan sarana principal untuk mengubah informasi menjadi pernyataan dalam suatu argument atau debat kebijakan. Setidak-tidaknya ada delapan cara argument kebijakan yang dapat dipertentangkan sesauai dengan asumsi mereka yang terkandung didalam paembenaran dan dukungan. Kadelapan cara ini adalah otoritatif, statistikal, intitutif, analisentrik, eksplanatori, pragmatis, dan kritik nilai.

            Pernyataan kebijkan dapat dibuat dengan basis sebuah beberapa atau semua cara argument kebiakan tadi. Pernyataan dapat didasarkan pada pembenbaran yang berasal dari perasaan , dan disanggah oleh suatu argument dari mativasi. Ada banyak kambinasi yang dapat dibuat dari tuntutan dukungan dan sanggahan dalam suatu argument atau debat kebijakan. Pengkajian nilai yang sistematik, beralasan dan kritis meruoakan unsure penting dari analisis kebijakan. Analisis kebijakan tidaklah bebas nilai : dia tergantung pada nilai dan dapat pula bersifat kritik nilai, yang berarti bahawa nilai mauoun fakta dapat diperdebatkan secara rasional.
            Aturan etis dan prinsip moral tidak semata-mata merupakan pilihan psikologis yang mutlak atau ekspresi emosi seorang individu. Nilai-nilai dapat saja dikomunikasikan dalam bentuk ekspresi, pernyataan, dan penilaian yang terkait dengan konteks nilai standar maupun ideal dari seseorang. Apapun konteks dan bentuk komunikasinya, nilai dapat dijelaskan dan dibenarkan. Basis dari suatu nilai dapat menjelaskan mengapa suatu nilai merupakan konsekuensi dari suatu piliahan atau keinginan dari seseorang atau suatu kelompok, sedangkan dasar nilai memberikan justifikasi dalam hal aturan etis dan prinsip moral. Basis dan dasar nilai berkaitan terutama dengan argument yang dibuat dari motivasi dan etika. Semua bentuk analisis kebijakna harus dipandang sebagai suatu yang secara potensial bersifat ideologis, dalam arti bahwa metode analisis kebijakan mungkin mencerminkan nilai yang riil dari si analisis. Dalam analisis kebijakan, cara terbaik untuk membuat suatu nalai menjadi eksplisit adalah denagn memasukannya sebagai bagian dari suatu argument atau debat etis yang bernalar.








BAB VI
SIFAT, TIPE, DAN PENGGUNAAN PERAMALAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Peramalan dapat mengambil tiga bentuk utama, yaitu proyeksi, prediksi, dan konjektur. Masing-masing bentuk utama tersebut mempunyai dasar yang berbeda dalam ekstrapolasi kecenderungan, teori, dan pandangan pribadi. Argumen-argumen pendukung yang membenarkan proyeksi, prediksi, dan konjektur juga berbeda. Proyeksi cenderung dibenarkan oleh argumen dari metode dan kasus paralel, sedangkan prediksi didasarkan pada argumen yang berasal dari sebab dan analogi. Sementara konjektur biasanya didasarkan pada argumen yang bersifat pikiran dan motivasi. Peramalan apapun bentuknya, memberikan informasi tentang perubahan di masa mendatang dalam kebijakan dan akibat-akibatnya. Jika peramalan dapat meningkatkan pemahaman, biasanya hal tersebut berhubungan dengan kontrol sosial. Peramalan biasanya dapat membentuk masa depan dengan cara yang aktif dan kreatif, daripada secara pasif menerima masa lalu sebagai penentu masa depan.
Peramalan kebijakan dapat dipraktekkan secara teratur oleh badan-badan pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga-lembaga penelitian nirlaba. Akurasi dari peramalan adalah sensitif terhadap konteks waktu, sejarah, dan kelembagaan. Sementara prosedur kompleks tidak harus akurat atau berguna daripada peramalan ekstrapolasi sederahana dan pendapat pribadi. Peramalan dapat digunakan untuk membuat estimasi tentang tiga tipe situasi masyarakat masa depan., yakni masa depan potensial, masa depan yang masuk akal (plausible), dan masa depan normatif. Spesifikasi mengenai masa depan normatif memungkinkan analis untuk mempersempit lingkup masa depan potensial dan masuk akal. Sehingga dapat meningkatkan kesempatan bagi ramalan untuk diarahkan kepada tujuan dan sasaran yang lebih spesifik.
Adapun tujuan sasaran dapat dibandingkan dan dipertentangkan dalam hal arah tujuannya, tipe defenisi, spesifikasi periode waktu, prosedur pengukuran, dan perlakuan terhadap kelompok target. Tujuan  dan sasaran secara tidak langsung menyataka alternatif, sementara alternatif tersebut menyatakan secara tidak langsung tujuan dan sasaran. Sumber yang tersedia untuk mengidentifikasi tujuan, sasaran, dan alternatif termasuk otoritas, wawasan, metode, teori ilmiah, motivasi, kasus paralel, analogi, dan sistem etika. Pendekatan terhadap peramalan  dapat diidentifikasikan, diperbandingkan, dan dipertentangkan menurut tujuan, dasar, metode, dan hasilnya. Objek peramalan meliputi isi dan konsekuensi dari kebijakan baru dan kebijakan yang ada dan perilaku dari para pelaku kebijakan. Dasar-dasar dari peramalan (ekstrapolasi kecenderungan, teori, pendapat subjektif) berkaitan dengan tiga proses yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu induksi, deduksi, dan retroduksi. Jika metode-metode peramalan ratusan jumlahnya, aplikasi terhadap metode-metode tersebut menghasilkan tiga tipe hasil : proyeksi, prediksi, dan konjektur.
Pemahaman dan penggunaan teknik peramalan dibuat lebih mudah jka mereka dikelompokkan menurut tiga pendekatan : ekstrapolatif, teoritis, dan intuitif. Beberapa dari teknik peramalan ekstrapolatif yang lebih penting adalah analisis deret berkala klasik, estimasi trend linear, pembobotan eksponensial, transformasi data, dan metodologi katastropi. Ketika teknik-teknik ekstrapolatif digunakan untuk mengestimasi trend linear dan nonlinear, hal tersebut bersandar pada asumsi mengenai persistensi, regularitas, dan reliabilitas data. Teknik-teknik untuk estimasi trend linear tidak dapat diterapkan untuk berbagai macam proses terputus (discontinious) yang merupakan perhatian khusus dari metodologi katastropi dan teori kekacauan (chaos).
Banyak deret berkala tidak memenuhi kondisi linearitas, persistensi, dan regularitas. Beberapa deret berkala juga bisa terputus. Deret berkala yang tidak memenuhi satu atau lebih dari kondisi-kondisi tersebut masuk ke dalam satu dari lima kelompok berikut : oskilasi, siklis, kurve tumbuh, kurve menurun, dan katastropi. Beberapa dari teknik-teknik peramalan teoritis yang lebih penting adalah teori pemetaan, modeling kausal, analisis regresi, estimasi interval, dan analisis korelasional. Beberapa dari tekni-tekniktersebut diarahkan untuk menidentifikasi dan menjelaskan asumsi-asumsi teoritis, sementara lainnya menyediakan estimasi yang lebih baik mengenaI keadaan masyarakat di masa mendatang yang diramalkan berdasarkan teori. Tidak satupun dari teknik-teknik tersebut yang dapat memprediksi tetaoi hanya teori yang dapat melakukannya.
Beberapa dari teknik-teknik  peramalan pendapat (jugmental) yang lebih penting adalah delphi konvensional, delphi kebijakan, analisis dampak-silang, dan penaksiran fisibilitas. Beberapa dari teknik tersebut dapat digunakan untuk membuat estimasi subyektif mengenai akibat dimasi mendatang dari perubahan-perubahan dalam teknologi dan kebijakan publik. Sementara lainnya membantu membuat estimasi mengenai perilaku dari pelaku-pelaku kebijakan dalam mendukung atau menentang adopsi dan implementansi kebijakan. Kelebihan dari teknik-teknik peramalan pendapat adalah bahwa teknk-teknik tersebut membuat estimasi mengenai keadaan masyarakat di masa mendatang dimana kondisi teori yang relevan atau data yang reliable tidak tersedia. Pendekatan-pendekatan yang berbeda mengani peramalan bersifat saling melengkapi. Kelebihan dari datu pendekatan atau teknik seringkali merupakan keterbatasan dari yang lainnya., demikian sebaliknya. Perbaiakn dalam peramalan tampaknya merupakan hasil dari peramalan yang bersifat multimetode, yan mengkombinasikan berbagai bentuk penalaran logis, berbaga landasan, dan berbagai objek.

















BAB VII
HAKIKAT DAN PERAN REKOMENDASI
DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Metode analisis kebijakan sangat terkait dengan persoalan moral dan etika, karena rekomendasi kebijakan mengharuskan kita menentukan alternatif-alternatif mana yang paling bernilai dan mengapa demikian. Rekomedasi kebijakan menjawab pertanyaan : Apa yang harus dikerjakan ? Untuk alasan ini rekomendasi kebijakan memerlukan pendekatan yang normatif, dan tidak hanya empris atau evaluatif. Semua rekomendasi kebijakan berupa pernyataan yang bersifat tindakan, tidaka hanya tindakan yang bersifat penandaan (seperti dalam peramalan) atau evaluatif (seperti dalam evaluasi). Pernyataan yang didasarkan pada advokasi mempunyai sejumlah karakteristik tertentu. Pernyataan bersifat tindakan, prosfektif, sarat nilai dan dari segi etika bersifat kompleks. Rekomendasi berkenaan pemilihan secara bernalar dua atau lebih alternatif. Model pilihan yang sederhana meliputi defenisi masalah yang memerlukan dilakukannya suatu tindakan, perbandingan konsekuensi dua atau lebih alternatif untuk memecahkan masalah, dan rekomendasi alternatif yang paling dapat memenuhi kebutuhan, nilai, dan kesempatan.
Model pilihan yang sederhana mengandung dua elemenn utama, yaitu premis fakta dan premis nilai. Premis nilai tidak dapat dibuktikan benar atau salah dengan mengajukan premis faktual, karena pertanyaan tentang nilai atau etika membutuhkan argumen tentang mengapa suatu hasil kebijakan adalah baik atau benar untuk sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat umum. Semua pilihan mengandung premis fakta dan premis nilai. Model pilihan sederhana menghindari kompleksitas dari kebanyakan situasi pilihan, karena model ini didasrkan pada tiga asumsi yang tidak realistis, yakni pembuat keputusan tunggal, kepastian, dan hasil yang terjadi pada suatu titik waktu. Model pilihan yang kompleks didasarkan asumsi-asumsi yang lain, seperti banyaknya pemebuat kebijakan, ketidakpastian atau resiko, dan akibat yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Model yang kompleks ini mencerminkan realitas sosial pembuatan kebijakan yang sesungguhnya.
Dalam berbagai situasi yang kompleks, adalah tidak mungkin untuk secara konsisten membuat ranking semua alternatif berdasarkan dua atau lebih kriteria pilihan kebijakan. Pilihan intransitip berbeda dengan pilihan transitip yang mengandung beragam tujuan yang saling berlawanan yang menjadi pegangan dari berbagai pelaku kebijakan yang berbeda. Ketidakmampauan kita untuk memuaskan kondisi dari model pilihan yang sederhana tidak berarti bahwa proses penyusunan rekomendasi tidak rasional dan tidak mungkin rasional, jika “rasionalitas” diartikan sebagai proses berargumentasi  yang bernalar yang dilakukan secara sadar untuk membuat dan mempertahankan suatu pernyataan. Sebagaian besar pilihan adalah bersifat multirasional karena pilihan tersebut mempunyai dasar rasional yang banyak pula. Bukti tentang ini ditunjukkan dengan adanya enam rasionalitas, yakni teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif, dan erotetis. Karakteristik utama dari tipe-tipe rasioanalitas ini adalah bahwa semuanya menyangkut pemilihan yang beralasan yang didasarkan pada argumen-argumen yang eksplisit tentang perlunya mengadopsi berbagai arah tindakan yang berbeda untuk memecahkan masalah publik.
Agar pilihan menjadi rasional dan pada saat yang sama komprehensif, maka pilihan-pilinan tersebut harus memuaskan kondisi yang dilukiskan sebagai teori rasionalitas komprehensif dalam pembuatan keputusan. Rasionalitas komprehensif telah ditentang atas dasar alasan bahwa sebagian besar keputusan secara nyata adalah tidak saling terkait dan bersifat inkremental (disjointed incrementalism). Sehingga pilihan yang benar-benar demokratis adalah sangat mustahil (dalil kemustahilan dari Arrow), bahwa pilihan adalan dibatasi oleh hambatan-hambatan yang praktis, bahwa pilihan mencerminkan upaya untuk memaksimalkan tujuan yang penuh hambatan (constrained maximation), dan bahwa prosedur yang berbeda digunakan untuk jenis masalah yang berbeda (mixed scanning). Tidak satupun dari penentang rasionaltas komprehensif itu yang mengabaikan ide rasionalitas. Tetapi kita diminta untukmendefenisikan kembali rasionalitas dalam arti pilihan-pilihan yang memenuhi prinsip-prinsip inkrementalisme, perilaku mencari kepuasan (satisficing), terbaik kedua, maksimisasi hambatan, mixed scanning, dan pengabaian (awal).
Tipe-tipe pilihan yang rasional dibedakan menurut bentuk kriteria penentuan alternatif, antara lain efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, daya tanggap, dan kelayakan. Hampir tidak mungkin untuk memilih diantara dua alternatif atas dasar salah satu, biaya atau efektivitas.  Hampir selalu diperlukan untuk menentukan tingkat efektivitas dan biaya yang dipandang sebagai tingkat kecukupan. Hal ini merupakan masalah besar yang tidak dapat dipecahkan dengan secara arbritrer dengan mengadopsi  kriteria tunggal tentang kecukupan. Jawaban tehadap persoalan kesejahteraan seluruh masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda, misalnya memaksimalkan kesejahteraan individu, melindungi kesejahteraan minimal, memaksimalkan kesejahteraan bersih, memaksimalkan redistribusi kesejahteraan. Tidak  satupun dari kriteria ini dapat memuaskan sepenuhnya, karena masing-masing gagal memecahkan konflik nilai-nilai sosial.
Analisis kebijakan dapat memuaskan kriterian efektivitas, kecukupan dan keadilan, akan tetapi sampai saat ini selalu gagal untuk memuaskan kriteria daya tanggap. Hampir mirip, meskipun kriteria daya tanggap telah terpenuhi, adalah telah memungkinkan adanya pertanyaan tentang kelayakan sasaran. Kriteria kelayakan adalah sangat erat dengan rasionalitas substantif. Dalam membuat rekomendasi analis kebijakan secara khusus menjawab berbagai persoalan tentang sasaran, biaya, hambatan-hambatan, eksternalitas waktu, dan risiko serta ketidak-pastian. Pilihan publik dan swasta berbeda dalam tiga hal, yaitu hakikat proses kebijakan publik, hakikat tujuan kebijakan publik yang bersifat kolektif, dan arti barang-barang publik. Logika dari maksimisasi keuntungan dalam sektor swasta, meskipun menggunkan berbagai aspek dari analisis kebijakan, menjadi terbatas ketika kita mempertimbangkan bahwa pembuatan kebijakan publik melibatkan legitimasi pembuatan kebijakan, barang kolektif dan setengah kolektif, keterbatasan dalam pengukuran pendapatan, dan tanggungjawab publik terhadap biaya dan manfaat sosial.
Dua pendekatan utama untuk rekomendasi dalam analisis kebijakan publik adalah analisis biaya-manfaat dan analisis biaya-efektivitas. Sementara dua pendekatan tersebut berupaya untuk mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat, hanya analisis biaya-manfaat yang mengukur biaya dan manfaat dalam bentuk uang sebagai unit nilai. Biaya dan manfaat ada beberapa jenis : dalam dan luar; yang terlihat dan yang tak terlihat; yang utama dan yang sekunder; serta yang nyata dan yang palsu. Dalam melakukan analisis biaya-manfaat adalah perlu untuk melengkapi serangkaian langkah-langkah sebagai berikut : spesifikasi sasaran, identifikasi alternatif, pengumpulan, analisis dan interpretasi informasi, spesifikasi kelompok sasaran, identifikasi tipe-tipe biaya dan manfaat, melakukan diskonting terhadap biaya dan manfaat, spesifikasi kriteria untuk rekomendasi, dan rekomendasi itu sendiri. Kriteria kecukupan seringkali dilakuka menggunakan analisis biaya-manfaat yang bersifat tradisional berupa manfaat bersih dan rasio biaya-manfaat. Dalam analisis biaya manfaat yang bersifat kontemporer, kriteria ini ditambah dengan kriteria redistribusional.
Analisis biaya-efektivitas tepat digunakan jika sasaran-sasaran tidak dapat diungkapkan dalam bentuk pendapatan bersih. Pekerjaan dalam melakukan analisis biaya-efektivitas mirip dengan apa yang dibutuhkan dalam analisis biaya-manfaat, dengan dua pengecualian. Hanya biaya yang didiskon terhadap nilai yang sekarang, dan kriteria yang paling sering digunakan adalah biaya terkecil dan efekitvitas maksimal. Beberapa metode dan teknik yang bermanfaat telah tersedia untuk melengkapi pekerjaan dalam melakukan analisis biaya-manfaat. Beberapa teknik ini dibuat untuk menyusun permasalahan (analisis batasan, analisis klasifikasi, analisis hirarki, analisis multi persfektif, analisis argumentasi, dan pemetaan argumentasi). Metode-metode yang lain dan teknik yang lain adalah spesifik untuk analisis biaya-manfaat dan biaya efektivitas, pemetaan sasaran, penjelasan nilai, kritik nilai, dan menyusun elemen biaya, penilaian biaya, harga bayangan, diskonting, analisis fisibilitas, pemetaan hambatan, analisis sensitivitas, analisis fortiori, dan analisis plausibilitas.
Metode analisis kebijakan untuk rekomendasi kebijakan menyertakan di dalamnya ketidakpastian. Beberapa yang penting berasal dari ketiadaan konsensus tentang nilai-nilai sosial dan prinsip-prinsip etika. Sumber lain yang penting dari munculnya ketidakpastian ini adalah ketidak-lengkapan pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat, lemahnya data, dan ketidak-akuratan prosedur pengukuran. Ketidak-pastian yang bersumber dari konflik nilai paling tepat dianggap sebaga persoalan debat etika, dan bukan sebagai pertanyaan teknis dan ekonomis. Plausibilitas mengenali tantangan ketidak-pastian dengan cara mempertentangkan rekomendasi dengan sejumlah pernyataan yang berlawanan. Ada paling sedikit sepuluh ancaman plausibilitas rekomendasi kebijakan yang dikembangkan atas dasar analisis biaya-manfaat danmetode-metode yang lain, yaitu sebagai berikut : invaliditas, inefisiensi, ketidak-efektifan, eksklusifitas, ketidak-sanggupan, illegalitas, ketidak-adilan, ketidakcukupan, dan kesalahan dalam formulasi. Ancaman-ancaman terhadap plausibilitas ini relevan untuk hampir semua rekomendasi kebijakan yang berupaya melakukan perubahan (reformasi) melalui regulasi, alokasi, atau relokasi sumberdaya.



BAB VIII
SIFAT, TUJUAN, DAN FUNGSI EVALUASI
            Pemantauan menjawab pertanyaan: apa yang terjadi, bagaimana, dan mengapa? Sebaliknya evaluasi menjawab pertanyaan: [ebedeaan apa yang terjadi? Jika evaluasi mempunyai beberapa arti umum (penaksiran dan penilaian). Evaluasi dalam arti yang lebih spesifik berarti pembuatan informasi mengenai seberapa jauh suatu hasil kebijakan member konstribusi terhadap pencapaian tujuan-tujuan dan sarana. Ketika hasil kebijakan bekerja dalam kenyataanya menyumbang pada pencapaian tujuan dan sasaran, kita mengatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang signifikan, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan paling kurang setengah terpecahkan.
            Avaluasi mempunyai beberapa karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan yang lain, titik berat kepada nilai hubungan ketergantungan antara nilai dan fakta,: orientasi masa kini dan masa lalu: dan dualitas nilai. Fungs-fungsi utama dari evaluasi dalam analisis kebijakan adalah penyediaan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, kejelasan dan kritik nilai-nilai yang mendasari pilihan tujuan dan sasaran dan penyediaan informasi bagi perumusan masalah dan inferensi praktis.
            Criteria untuk evalusi kebijakan sama sebagaimana criteria untuk rekomendasi kebijakn efektifitas, astimasi, kecukupan, kesamaan, daya tanggap, dan kelyakan. Satu-satunya perbedaan yang ada adlah bahwa dalam evaluasi kebijakan criteria ini diterapkan secara restropektif terhadap hasil kebijakan, bukan secara prospektif terhadap aksi-aksi kebijakan. Semua tuntutan evalusi meliputi premis factual dan premis nilai. Sementara itu banyak kegiatan yang diterapkan sebagai evalusi dalam analisis kebijakan adalah secara esensial bersifat bukan evaluatif karena kegiatan-kegiatan tersebut terutama dititik beratkan pada pembuatan tuntutan designative (factual), buakn tuntutan evaluative.
            Terdapat tiga pendekatan utama evalusi dalam anlaisis kebijakn: evaluasi semu, evlauasi formal, dan evalusi teoritis keputusan. Masing-masing pendekatan ini mempunyai tujuan, asumsi dan bentuk yang berbeda. Evalusi semu sama dengan pemantauan, meskipun evalusi formal dan evaluasi teoritis keputusan menganggap bahwa pemantauan telah dilakukan. Evalusi teoritis keputusan adalah cara yang perlu diperhitungakn dan dapat mengatasi sejumlah kelmahan dari evalusi semu dan evaluasi formal: kurang memamfaatkan dan tidak memamfaatkan kinerja informs: ambiguitas tujuan kinerja dan berbagai tujuan yang saling bertentangan.
            Hampir semua teknik untuk mengevalusi kinerja kabijakn dapt juga digunakan dalam hubungannya dengan metode-metode analisis kebijakan lainnya. Hal ini menegaskan ketergantungan diantara metode-metode analsis kebijakan. Hanya satu teknik analsis survey pemakai belum dijelaskan dalam hubungannya dengan metode-metode lain. Analsis survai pemakai digunakan dalam hubungannya dengan avaluabilitas penaksiran sebagai satu bentuk evalusi teoritis keputusan. Perbedaan antara aspek-aspek kognitif dan politis dari proses kebijakan adalah untuk memahami pemamfaatan dan kurang atau tidak dimamfatkannya kinerja informasi oleh pembuat kebijakan.
            Pemamfaatan informasi ditentukan oleh faktor-kaktor yang bersifat politis organisasional, dan sosial, dan bukan yang hanya bersifat metodologis atua teknis. Faktor-faktor tersebut apat dikelompokan ke dalam 5 macam: karakteristik infomasi, strktur maslah kebijakan, sturktur birokrasi dan politik, dan sifat interaksi di antara analisis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku kebijakan lainnya. Sifat interaktif analisis kebijakan menimbulkan keraguan tentang pemamfaatan informasi dari masalah yang sangat komplek. Karena sebagian besar masalah-masalah kebijakan bersifat kompleks, berantakan, atau rumit, model pemecahan masalah dalam analasis kebijakan menjadi tidak layak dan tidak dapat diteapkan. Karena itu analisis kebijakan dijelaskan dalam buku ini sebagai proses pengkajian yang terintegrasi dimana berbagai metode digunakan secara terus menerus untuk menghasilkan, mentransformasikan, dan menginterpretasikan informasi sebagai bagian dari argumen-argumen dan debat diantara pelaku kebijakan dalam proses kebijkan.


RUANG LINGKUP BIROKRASI

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Istilah birokrasi tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat terutama dalam penyediaan pelayanan publik atau bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigid (kaku). Hal tersebut karena birokrasi terikat oleh peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meskipun begitu, birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan. Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang.
Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis. Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan pelayanan publik di Negara Jepang sebagai contoh perwakilan Negara maju dan di Negara Indonesia sebagai contoh perwakilan dari Negara berkembang. Pelayanan publik yang akan diangkat adalah masalah pelayanan publik yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa khususnya dalam bidang transformasi.
B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah, yaitu :
1.    Defenisi Birokrasi
2.    Karateristik Birokrasi
3.    Model Birokrasi
4.    Birokrasi Pemerintahan
5.    Kritik Terhadap Birokrasi
6.    Kelemahan Birokrasi Di Negara Berkembang
7.    Etika Birokrasi Dan Birokrasi Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.   DEFENISI BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor, dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration. Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
·         Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
·         Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai :
·         Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat
·         Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Dalam pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial.
B.   KARAKTERISTIK BIROKRASI
Menurut pandangan Max Weber birokrasi memiliki karakteristik sebagai berikut :
ü  Organisasi yang disusun secara hirarkis.
ü  Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
ü  Pelayanan public terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
ü  Seorang pelayan public menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
ü  Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
ü  Para pejabat tidak memiliki sendiri kantor mereka.
ü  Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
ü  Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan.


C.   MODEL BIROKRASI
1.    Weberian
Karakteristik Birokrasi Weber adalah individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2.    Birokrasi Marxis
Marx berpendapat negara itu bukan mewakili kepentingan umum. Tidak ada kepentingan umum (general) itu, yang ada ialah kepentingan particular lainnya. Kepentingan particular yang memenangkan perjuangan klas sehingga menjadi klas yang dominan itulah yang berkuasa. Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok particular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakatb ke dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
3.    Birokrasi parkinsonian
Birokrasi ParkinsonianMerupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkankapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan pembangunan yang semakin menumpuk.
D.   BIROKRASI PEMERINTAHAN
Di negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang di idealkan oleh Max Weber nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “ birokrasi kerajaan ” yang feudal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi. 
Dalam model Weber, tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:
ü  Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi
ü  Jabatan di pandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan
ü  Pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik ataupun administrative
ü  Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik

E.   KRITIK TERHADAP BIROKRASI
Kritik terhadap konsep birokrasi Weber muncul dari R. V. Presthus. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat.. Ia menganggap bahwa konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non barat. Salah satu contohnya adalah ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang mendasar antara pola perilaku masyarakat Turki dan pola perilaku masyarakat di Barat. Berdasarkan kritik yang dikemukakan oleh Presthus terhadap teori birokrasi ala  Max Weber, maka dapat saya analisis, pertama bahwa teori birokrasi Weber tepatnya tipe ideal birokrasi  memang  belum  tentu  cocok  untuk  diterapkan  di semua Negara terlebih Indonesia. Karena perilaku setiap warga Negara atau birokrat disetiap  negara tentu  saja  berbeda.
Idealnya memang yang seperti Weber rumuskan dalam teorinya, tapi prakteknya belum tentu semua tipe ideal tersebut dapat dijalankan. Menurut saya tipe ideal atau karakter ideal Weber  cenderung otoritatif, apabila ini diterapkan  di Indonesia tentu saja akan banyak masalah yang terjadi mengingat perilaku para birokrat  yang  terang-terang menunjukan perilakunya  yang amat buruk. Jika menurut Weber bahwa birokrasi itu adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan, maka  birokrasi Indonesia jauh dari kesan tersebut, bahkan timbul persepsi negative dari masyarakat bahwa birokrasi merupakan prosedur yang rumit dan berbelit-belit jauh dari kesan organisasi rasional. Jadi dapat disimpulkan bahwa tipe atau karkteristik birokrasi Weber belum tentu cocok diterapkan disemua negara. Kedua, dalam stuktur karier yang Weber kemukakan dalam karakteristik ideal birokarasi menyatakan bawa System promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi atau  kedua-duanya. Disini terdapat ketidakjelasan dalam stuktur karier karena sebelumnya Weber menyatakan setiap tugas dilakasanakan oleh ahli yang terspesialisasi dan perlakuan yang sama tehadap semua orang sehingga mendorong demokrasi dalam system administrasi.
Jika dari awal telah menyatakan pentingnya ahli yang terspesialisasi maka seharusnya dalam struktur karier harusnya ditentukan berdasarkan keahlian setiap individu bukan senioritas. Kemudian saya melihat dalam teori Weber ini seakan segala sesuatu diputuskan oleh atasan tanpa melibatkan bawahan. Pada akhirnya timbul ketidakjelasan akan siapa yang berhak memperoleh kedudukan paling atas dan patut untuk di hormati, apakah orang-orang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk memerintah atau orang-orang yang mempunya keahlian paling baik. Ketiga, disini Weber hanya memaparkan mengenai idealnya karateristik suatu birokrasi tanpa menyertakan berbagai kendala yang akan dihadapi berserta alternative lainnya yang membuat birokarasi tetap ideal mengingat akan sulit untuk mencapai semua yang dirumuskan oleh  Weber. Karena apabila salah satu karakteristik itu sama sekali tidak dapat dilaksanakan dan menemui berbagai kendala, maka apakah Weber masih menyatakan birokrasinya ideal? Oleh karena itu sepatutnya Weber memberikan alternative lain dari karakteristik ideal birokrasi yang telah ia kemukakan.
F.   KELEMAHAN BIROKRASI DI NEGARA BERKEMBANG
Untuk melaksakanan pengembangan kelembagaan pemerintahan perlu menelusuri keadaan kelembagaan di negara berkembang pada umumnya. Tingkat perkembangan kelembagaan di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai ekologi adminisrasi. Ekologi administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan mengenali berbagai indikator itu kita akan memperoleh gambaran mengenai ekologi administrasi di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ekologi administrasi di negara berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang tidak terlalu menguntungkan bagi bekerjanya kelembagaan. Sebaliknya, kelembagaan yang terbelakang, artinya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi kelembagaan yang seharusnya, akan memperburuk keadaan atau lingkungannya. Hubungan timbal balik antara kelembagaan dan lingkungan ini amat besar intensitasnya dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi lainnya.
Pendekatan untuk telaah pengembangan kelembagaan pemerintahan akan dilakukan dari sisi administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari sistem administrasi negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada birokrasi, baik sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi, yang memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat umum (overall) yang mempengaruhi pelayanan publik yang bersifat tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial ekonomi di negara berkembang. Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred W. Riggs menjelaskan bahwa birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Menurut Fred W. Riggs, Hoessein bahwa istilah birokrasi dapat dipilah menurut “content” dan “context”nya. Konteks merujuk pada setting dari birokrasi itu berada, yang dapat dibedakan atas birokrasi private dan birokrasi publik. Birokrasi publik terbagi atas birokrasi partai, birokrasi dalam lembaga legislatif, birokrasi dalam lembaga yudisial, dan birokrasi eksekutif bahkan birokrasi dari perusahaan negara. Konten dipilah atas dua dimensi: sipil-militer dan karir non karir sehingga hasilnya menjadi empat sel, yakni: sipil karir, sipil non karir, militer karir dan militer non karir.
Studi awal mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya diberikan oleh Riggs (1985). Ia menggambarkan taraf-taraf perkembangan administrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yang paling maju. Riggs mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai the theory of prismatic society, di mana ia menempatkan fase transisi dalam perkembangan suatu masyarakat sebagai prismatic society, yang apabila ditarik garis linear terletak antara apa yang dinamakan sebagai fused society untuk masyarakat tradisional dan diffracted society untuk masyarakat yang lebih maju. Istilah-istilah tersebut dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta, khususnya ilmu fisika dengan menggunakan sifat-sifat yang dimiliki suatu prisma terhadap cahaya. Model birokrasi pada masyarakat yang prismatis disebutnya sebagai bureau atau “sala model” dan untuk masyarakat tradisional atau fused society model administrasinya disebut “chamber”, sedangkan untuk masyarakat yang telah maju atau diffracted diberinya istilah “office”.
Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual. Adapun masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar.
Rumusan ini diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Dalam kultur masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia.  Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai ciri khas masyarakat model prismatik. Riggs melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di banyak negara berkembang.
Menurut Fred W. Riggs (1985) administrasi pembangunan berkaitan dengan proses adminstrasi dari suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan terutama oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang telah direncanakan guna menemukan sasaran pembangunan (pembangunan admistrasi). Administrasi pembangunan dikaitkan dengan implikasinya, sehingga apabila suatu program pembangunan berhasil dilaksanakan, dengan sendirinya akan mendorong perubahan-perubahan dalam berbagai bidang (administrasi pembangunan). Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).
Seorang ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs, 1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan sistem politik atau tradisi kebudayaannya. Menurut Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat umum (common) di negara berkembang. Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.
G.   ETIKA BIROKRASI DAN BIROKRASI DI INDONESIA
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008). Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia (Simorangkir : 1978). Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Inilah prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max Weber (Max Weber : 1946). Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya. Etika jabatan atau etika birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya (Suyamto : 1989). Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai etis tetapi terasa abstrak juga terdapat dalam sumpah jabatan pegawai negeri yang harus diucapkan pada saat mereka dilantik (Kumorotomo : 1999).
Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan pekerjaannya tidak sesuai dengan aturan dan kode etik yang berlaku. Beberapa gambaran tentang birokrasi pemerintahan di Indonesia yang berhubungan dengan konteks etika antara lain :
·         Segala bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop. Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
·         Banyaknya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
·         Masih banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
·         Adanya indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
·         Adanya mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
·         Belakangan ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu. Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka dan terpidana.









BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid dan kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting di dalam masyarakat salah satunya adalah melaksanakan pelayanan publik. Pelaksanaan birokrasi dalam hal pelayanan publik di setiap negara tentunya berbeda, begitu juga diantara negara berkembang dengan negara maju.
Di negara berkembang yaitu Indonesia, pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sepertinya belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak semua lapisan masyarakat yang belum menikmati pelayanan yang ada dan birokrasinya sangat berbelit-belit. Dilihat dari pelayanan transportasi publik, Indonesia bisa dikatakan kurang memadai. Seperti yang kita ketahui dalam penyediaan transportasi umum masih banyak angkutan umum seperti bus atau angkutan perkotaan, yang sebenarnya sudah tidak layak untuk digunakan namun tetap digunakan karena alasan kekurangan biaya, maka yang terjadi adalah banyak angkutan umum yang memaksakan muatan untuk mengangkut penumpang sementara keselamatan mereka cenderung diabaikan.
B. SARAN
Adapun rekomendasi yang diberikan dapat kepada pemerintah dan masyarakat. Di Indonesia, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan memperbaharui sistem birokrasi yang ada dalam penyediaan pelayanan publik, seperti memperbaiki infrastruktur yang ada, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kenyamanan dan keselamatan masyarakat yang menggunakan angkutan umum khususnya kereta api. Selain itu, perlu adanya kontrak bernegara dan paksaan sah terhadap lembaga dan aparat public untuk memberikan pelayanan yang mudah, murah, memiliki kepastian hukum, dan kepastian tanggung jawab. Dengan itu semua diharapkan akan mengurangi beban ekonomi sekaligus memberi peluang meningkatkan produktifitas bagi warga Negara. Dengan studi perbandingan dengan negara Jepang yang telah kami lakukan dalam hal pelayanan transportasi pelayanan publik kepada masyarakat diharapkan pemerintah dapat memberikan perbaikan dengan mengambil keunggulan-keunggulan dalam hal pelayanan transportasi publik yang ada di negara Jepang.