Kamis, 10 Januari 2013

Proses Kebijakan Publik


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Dalam makalah ini membahas tentang tahapan implementasi sebuah kebijakan yang merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini menentukan keberhasilan sebuah kebijakan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap perumusan dan pembuatan kebijakan.
Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya.  Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan..
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Walaupun kami tahu bahwa dalam malakah ini masih banyak kekurangan dalam hal materi, teknik  penulisan, sampai kepada format malakahnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan representasif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pembacanya. Olehnya itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi pembuatan makalah selanjutnya.


Makassar, Desember 2012


Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATARBELAKANG
Akhir-akhir ini, kita dihadapkan pada sebuah dilema kebijakan yang nyata. Sebuah fakta yang menarik, dimana produksi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah terus bertambah. Namun, seiring dengan bertambahnya kebijakan tersebut, sejumlah masalah justru terus terjadi. Sebut saja masalah bencana baik karena bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gunung meletus, bencana banjir, ancaman tsunami, masalah kemacetan, pesawat jatuh, tabrakan kereta api dan lain sebagainya seolah tak pernah takut dengan kebijakan yang lahir, bahkan berani menantang, melawan dan bahkan membunuh.
Padahal, secara teori kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang diambil untuk menghadapi situasi atau permasalahan, mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana untuk mencapainya. Apa yang salah dengan kebijakan kita? Bukankah kita telah memiliki aktor-aktor kebijakan baik dari pemerintah maupun dari kalangan legislatif? Atau sebenarnya kita tidak memahami proses merumuskan kebijakan? Atau jangan-jangan kita salah merumuskan agenda setting? Ataukah banyaknya kepentingan yang harus kita akomodasi, sehingga kebijakan kita cenderung tidak fokus?
Saat ini, produk kebijakan publik di Indonesia masih memiliki wajah yang memprihatinkan yang ditandai antara lain adanya tumpang tindih kebijakan, ketidakjelasan urgensi keberadaan kebijakan publik, prosedur yang tidak tepat dalam pembuatan kebijakan publik, serta minimnya naskah akademik sebagai dasar pembuatan kebijakan. Permasalahan tersebut akan semakin mengemuka jika kita kaitkan dengan kewenangan. Idealnya kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Sering sekali kewenangan ini diterjemahkan secara berbeda di antara level pemerintahan, sehingga yang terjadi kemudian adalah melegalisir kewenangan dengan tindakan pengaturan melalui pembuatan kebijakan publik yang mengakibatkan munculnya fenomena over–regulation dan tumpang tindih kebijakan di berbagai level pemerintahan.
Catatan lain bagi perkembangan kebijakan publik di Indonesia adalah mengenai akuntabilitas. Akuntabilitas kebijakan publik diartikan sebagai upaya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara memadai kepada masyarakat yang dilayaninya. Berkaca dari berbagai permasalahan di atas, maka upaya menciptakan akuntabilitas kebijakan publik masih membutuhkan berbagai pembenahan dalam proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia. Upaya pembenahan tersebut antara lain telah dilakukan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah.
Beranjak dari uraian inilah penulis mengangkat pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah, yaitu tentang proses kebijakan publik. Bagaimana sebuah kebijakan itu lahir dan mendapat respon dari masyarakat, apakah respon itu bersifat pro ataupun kontra.
B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
1.    Defenisi Kebijakan Publik
2.    Formulasi Kebijakan Publik
3.    Bentuk Penyimpangan Dalam Proses Kebijakan Publik


BAB II
PEMBAHASAN
A.   DEFENISI KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai “public policy”, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai publik aktor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372).
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat. (Ndraha 2003: 492-499). Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
“The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1.    Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2.    Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3.    Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89). Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
B.   FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Suatu kebijakan itu tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi memerlukan proses yang tidak sederhana. Menurut Thomas R. Dye, proses kebijakan publik meliputi beberapa hal berikut :
1.    Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem). Identifikasi masalah dapat dilakukan melalui identifikasi apa
yang menjadi tuntutan (demands) atas tindakan pemerintah.
2.    Penyusunan agenda (agenda setting) merupakan aktifitas memfokuskan perhatian pada pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan diputuskan terhadap masalah publik tertentu. 
3.    Perumusan kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan melalui organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokasi
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
4.    Pengesahan kebijakan (legitimating of policies) melalui tindakan politik oleh partai politik, kelompok penekan, presiden dan kongres.
5.    Implementasi kebijakan (policy implementation) dilakukan melalui birokrasi, anggaran publik, dan aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.
6.    Evaluasi kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri, konsultan di luar pemerintah, pers dan masyarakat (publik).
  
Sementara itu William Dunn merumuskan tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut:
1)    Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
·         Telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
·         Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis;
·         Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
·         Menjangkau dampak yang amat luas ;
·         Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
·         Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

2)    Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3)    Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi – cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4)    Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
C.   BENTUK PENYIMPANGAN DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Studi kebijakan publik dalam konteks Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut juga diliputi kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak memperdulikan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka studi kebijakan publik dengan alasan profesional semakin dibutuhkan.
Dalam posisi yang bersebelahan dengan  kebijakan publik yang semakin penting, perihal kebijakan publik akan menjadi sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah untuk melayani masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap masyarakatnya. Kemudian diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip good governance. Maka dibentuklah suatu agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah.
Agenda kebijakan berbentuk daftar masalah tersebut kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil keputusan untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik yang akan diambil. Tetapi kenyataan yang diterima oleh masyarakat agenda kebijakan tidak sepenuhnya tercapai, karena dalam penerapannya kelembagaan pemerintah malah mendapat permasalahan yang lebih rumit. Hal ini disebabkan antara lain keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus ditangani oleh sebuah lembaga pengambil keputusan.
Agenda kebijakan mungkin hanya mampu membahas beberapa masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang diterapkan oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal ini kemudian muncul arti penting memahami masalah berdasarkan urgensinya. Karena bisa saja agenda kebijakan publik tidak mendasarkan pada aspek prioritas tetapi mungkin karena motif-motif tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik. Dengan demikian sebelum masalah menjadi sebuah agenda kebijakan, pada dasarnya telah terjadi pertarungan ditingkat sebelumnya, yaitu bagaimana seseorang atau lembaga pengambil keputusan menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda kebijakan. Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan keterampilan pengambil kebijakan untuk memahami, mengerti dan akhirnya memutuskan apa yang hendak dimasukkan dalam agenda kebijakan.
Defenisi yang menyatakan maksud agenda kebijakan adalah:
“List of subject or problems to which government officials and people outside of government closely with these official, are paying some serious attention any given”
Dari defenisi ini ada beberapa masalah yang harus digaris bawahi ;
ü  Daftar urusan atau masalah, contohnya adalah pelayanan umum apa yang harus diperbuat oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini badan-badan pemerintah yang berhadapan langsung dengan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan semata-mata kepentingan kalangan pelaku usaha.
ü  Agenda kebijakan seharusnya melibatkan orang-orang di dalam maupun di luar pemerintahan. Artinya dibutuhkan suatu partnership dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk menentukan dan mempengaruhi proses kebijakan, agar sebuah masalah dapat dimasukkan dalam daftar kebijakan.
ü  Ada sebuah pandangan terhadap urgensi kebutuhan masyarakat demi tercapainya pelayanan umum, maka diusulkan letak penting prioritas permasalahan.
Dalam mewujudkan pelayanan publik melalui kebijakan publik yang digagas oleh pemerintah dibutuhkan suatu kerjasama dengan masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik yang tepat guna. Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya pemerintah daerah, sepertinya mengenyampingkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga banyak bermunculan kebijakan publik yang berorientasi kepada motif ekonomi dan motif politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini terjadi? Karena tidak adanya akuntabilitas birokrasi terhadap kenyataan publik, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan agenda kebijakan publik yang tidak berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan ini akhirnya membentuk sesuatu yang dinamakan simpul korupsi birokrasi.
Korupsi adalah penyebab utama mengapa tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tidak bisa ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah. Fenomena korupsi juga menjelaskan mengapa krisis multi-dimensional di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998 terjadi berkepanjangan dan tak kunjung bisa ditanggulangi. Tidak berlebihan jika seorang pakar mengatakan bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah (the root of evils) di Indonesia. Dari perspektif administrasi publik, penyebab korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik. Selain itu tidak diikutkannya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dalam birokrasi membuat akuntabiltas birokrasi sulit diwujudkan.
Syed Hussein Alatas seorang ahli sosiologi korupsi  memaparkan 7 tipologi korupsi, yang dalam derajat tertentu dapat mengidentifikasi fenomena korupsi dalam kebijakan publik. Ketujuh tipologi korupsi itu adalah sebagai berikut :
1.    Transaktif ( korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut )
2.    Eksortif ( korupsi yang menyatakan bentuk-bentuk koersi tertentu, dimana pihak-pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orang, atau hal-hal yang dihargainya )
3.    Investif ( korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa, tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa mendatang )
4.    Nepotistik (korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik )
5.    Autogenik ( korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui seorang diri )
6.    Suportif ( korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi )
7.    Defensif ( korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka memepertahankan diri dari pemerasan )
Mencegah korupsi dan kolusi tidaklah begitu sulit, kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebab betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat korup tetap ada dihati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan terus terjadi. Sebab faktor mental yang menentukan. Selain itu, hendaklah dipahami juga tanggung jawab atas perbuatan terkutuk ini (apabila dilakukan dengan cara kolusi) tidak hanya terletak pada mental pejabat saja, tetapi juga terletak pada mental pengusaha tertentu yang berkolusi yang selalu ingin menggoda oknum pejabat untuk mendapatkan fasilitas dan keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun pejabat ingin melakukan korupsi, kalau tidak disambut oleh oknum pengusaha berupa pemberian suap atau janji memberi imbalan, korupsi tidak akan separah ini. Suap sungguh sangat berbahaya, karena si penerima suap tidak akan tanggung-tanggung dalam menyalahgunakan kewenangannya, sehingga kekayaan dan aset negara dipreteli dalam jumlah milyaran atau trilyunan rupiah.


BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Kebijakan publik dipahami sebagai serangkaian proses yang bergerak dari satu bagian ke bagian ke bagian lainnya secara berkesinambungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Proses itu berada di dalam suatu sistem politik yang dimulai dari identifikasi, agenda setting, formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Mengenai proses kebijakan ini, Easton menganalogikan sistem politik sebagai sistem biologi yang di dalamnya berlangsung interaksi antara organisme dengan lingkungannya. Kebijakan publik merupakan output dari sistem politik, dimana sistem politik itu terdiri dari input, throughput, dan output. Input dari sistem politik berasal dari lingkungan (masyarakat) dapat berupa tuntutan maupun dukungan. Selanjutnya input tersebut  mengalami penggodokan dalam proses formulasi hingga siap diimplementasikan dalam bentuk output, yaitu kebijakan publik.
B.   SARAN
Sudah saatnya pemerintah mengubah mainset dalam memformulasikan kebijakan publik. Jika sebelumnya mainset yang digunakan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan adalah bersifat problem oriented, sehingga cenderung berfokus pada prosedur dan aturan untuk memecahkan masalah, yang berdampak pada birokrasi pita merah (red tape). Maka untuk saat ini dan di masa mendatang, mainset yang digunakan dalam memformulasikan kebijakan harus bersifat goal oriented. Sehingga kebijakan yang dirumuskan tidak membuat masyarakat terjebak pada aturan dan prosedur yang rumit, namun yang terpenting adalah bagaimana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, tanpa terlepas dari nilai-nilai fundamental sebagai landasan untuk berfikir dan bertindak.


DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT. Gramedia. Halaman 356
Drs.H.Abdul Kahar Badjuri dan Drs.Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. Kebijakan Publik Konsep dan Strategi. Kingdong 199. Hal 33.
James P. Lester dan Joseph Stewart (2000). Public Policy: An Evolutionary Approach. Second Edition. Australia: Wadsworth.
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2167357-proses-kebijakan-publik/

Pemetaan Ekonomi Politik


PEMETAAN EKONOMI POLITIK
A.     Perspektif Ekonomi Politik
Munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa disebut masa “transformasi besar” di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feudal pada abad pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi baru yang besar tersebut telah memunculkan peluang ekspresi bagi aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa kewirausahaan yang sebelumnya ditekan oleh lembaga gereja, negara dan komunitas. Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di Perancis dengan para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert, dan Condilac. Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Para pemimpin dari aliran ini mempercayai bahwa kekuatan akal akan dapat menyingkirkan manusia dari segala bentuk kesalahan. Ide dari abad pencerah inilah yang bertumu kepada ilmu pengetahuan masyarakat (science of society), yang sebetulnya menjadi dasar ekonomi politik. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam bukunya yang bertajuk Triatise on Political Economy. Sedangkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudul Inequiry into the Principles of Political Economy.
Pada awal-awal masa itu, para ahli ekonomi politik mengembangkan ide tentang keperluan negara untuk menstimulasi kegiatan ekonomi (bisnis). Pasar dianggap masih belum berkembang pada saat itu, sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membuka wilayah baru perdagangan, memberikan perlindungan (pelaku ekonomi) dari kompetisi, dan menyediakan pengawasan untuk produk yang bermutu. Namun, akhir abad 18, pandangan itu ditentang karena dianggap pemerintah bukan lagi sebagai agen yang baik untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi justru sebagai badan yang merintangi upaya untuk memperoleh kesejahteraan. Perdebatan antara para ahli ekonomi politik itulah yang akhirnya memunculkan banyak sekali aliran dalam tradisi pemikiran ekonomi politik. Secara garis besar, mazhab itu dapat dipecah dalam tiga kategori, yakni :
1.    Aliran ekonomi politik konservatif yang dimotori oleh Edmund Burke;
2.    Aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say;
3.    Aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorcet, dan Karl Marx.

Kembali ke muasal ilmu ekonomi, sebenarnya ilmu ekonomi eksis kedalam ranah ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai cabang ilmu sosial yang bisa menerangkan dengan tepat problem manusia, yakni ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Implikasi dari keterbatasan sumber daya berujung dalam dua hal, yaitu :
ü  bagaimana mengalokasikan sumber daya tersebut secara efisien sehingga bisa menghasilkan output yang maksimal;
ü  menyusun formulasi kerja sama (co-operation) ataupun kompetisi (competition) secara detail sehingga tidak terjadi konflik.
Bagi ahli ekonomi politik, problem serius dalam perekonomian tidak semata resource constraints, tetapi insentif. Syarat sistem insentif bekerja adalah tersedianya informasi yang lengkap sehingga dapat diakses oleh semua pelaku ekonomi (padahal ini mustahil). Informasi yang kurang lengkap menyebabkan sistem insentif tidak pernah bekerja dengan sempurna. Bagi scholars ekonomi politik, kegagalan terpenting mekanisme pasar adalah ketidaksanggupannya memfasilitasi informasi yang lengkap. Dengan kata lain informasi yang selalu diberikan oleh pasar adalah selalu asimetris. Disinilah teori ekonomi politik digunakan diantara kelangkaan informasi (di satu sisi) dan kemampuan untuk mencari model kompensasi atas ketidaksempurnaan pasar (di sisi lain).
Isu yang dibangun oleh teori ekonomi politik adalah bagaimana pemerintah menyusun mekanisme yang memungkinkan seluruh partisipan di pasar mau berbagi informasi. Inilah yang melatari terjadinya peristiwa negosiasi. Dengan prinsip regulasi itu, yang sebetulnya sudah dikembangkan oleh teori ekonomi kelembagaan, suatu tindakan dan keputusan ekonomi diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak sehingga kemungkinan kerugian yang bakal diderita oleh salah satu partisipan dapat dieliminir. Jika ini terjadi, maka prinsip efisiensi dan kerja sama atau kompetisi dalam kegiatan ekonomi bisa dicapai.
B.     Pemikiran Ekonomi Politik
Tiga varian penting dalam pendekatan ekonomi politik, yang selama ini mendominasi corak pendekatan ekonomi politik. Ketiga varian itu adalah ekonomi politik klasik/ neoklasik (classical/neoclassical political economy), ekonomi politik kynesian (keynesian political economy), dan ekonomi politik marxian (Marxian political economy).
1.      Ekonomi Politik Klasik/Neoklasik
Ekonomi politik klasik / neoklasik berakar dari mazhab ekonomi klasik / neoklasik yang menjadi sumber terpenting perumusan kebijakan ekonomi abad 20 dan 21. Mazhab ini juga menjadi cikal bakal sistem ekonomi kapitalis dan dipraktikkan sebagian besar dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) tegak 4 pilar dasar yang melatari. Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal). Jika harga dianggap melibihi biaya produksi dan margin laba, maka itu merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk ke pasar untuk menambah persediaan (supply) barang/jasa sehingga dapat menurunkan harga, dan juga sebaliknya. Kedua, setiap individu mempunyai kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak akan pernah biasa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Ketiga , kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik modal memperoleh pendapatan dari laba (profit), tenaga kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa (rent).keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar (free entry and exit barriers).
Dalam hal penguatan pasar sebagai instrumen unutuk mengkoordinasi kegiatan ekonomi, misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan negara / pemerintah dari aktivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh sektor swasta lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Bahkan, akibat peran pasar yang dominan, kapitalisme sendiri sering disinonimkan sebagai ekonomi pasar (market economic) [Grassby, 1999:3].
Pemisahan kegiatan ekonomi dalam tiga pelaku, yakni pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan. Meskipun relasi antara ketiga pelaku ini dianggap sangat tidak adil oleh ekonom kiri (marxian economists), namun faktanya pembagian kerja itu telah mendonorkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kompetisi yang tinggi di negara-negara kapitalis. Pada level makro, pemisahan pemilik faktor produksi tersebut menjadi alasan munculnya segregasi hubungan ekonomi yang efisien melalui spesialisasi. Pemilik modal menyiapkan sepenuhnya kebutuhan material (alat produksi) sehingga proses produksi bisa berlangsung, tenaga kerja memberikan kemampuan/keterampilan maksimal agar diperoleh output yang bermutu, dan pemilik lahan memberikan jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akhirnya, ekonomi kelembagaan siten ekonomi kapitalis memberi tempat yang leluasa bagi setiap pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar melalui sistem insentif. Setiap adanya regulasi yang merintangi pelaku ekonomi untuk masuk keluar pasar, disitulah akan terjadi inefisiensi ekonomi. Inefisiensi itu dengan mudah dikenali dari harga yang terbentuk di pasar. Jika harga terlalu tinggi dari yang seharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal ini menjadi sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila prosedur masuk ini dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss).

Dalam sistem ekonomi kapitalis, srplus diperoleh apabila terdapat selisih antara biaya produksi dengan harga jual. Margin tersebut diambil oleh pemilik modal, sedangkan pekerja (buruh) mendapatkan upah yang merupakan bagian dari biaya produksi. Jadi, dari model ini seluruh surplus nilai (surplus of value) dialokasikan kepada produsen (pemilik modal). Konsep ini dianggap merupakan cara terbaik untuk menentukan dan mengalokasikan nilai barang/jasa dan menjadi sumber terpenting kegiatan produksi dan alokasi sistem ekonomi kapitalis.
Varian lain adalah ekonomi politik neoklasik (EPN). Pendekatan ekonomi neoklasik sendiri tumbuh seiring dengan munculnya marginalist economics pada era 1780-an. Sebelum era ini, teori ekonomi didominasi oleh pembahasab ekonomi pertumbuhan ekonomi, distribusi, dan teori nilai. Pusat dari pemikiran neoklasik adalah menempatkan individu sebagai “constrained choice” [caporaso dan levine, 1992:79]. Inti dari pandangan ini adalah individu merupakan agen yang memilih (choosing agent), yaitu seseorang yang memutuskan beberapa alternatif dari tindakannya berdasarkan imajinasi tentang dampak dari keputusan tersebut terhadap dirinya. Dalam proses pengambilan  keputusan tersebut, individu dihadapkan dalam situasi kelangkaan (scarcity), yakni perbedaan antara kondisi subjektif (keinginan) dan kondisi alamiah/ objektif (ketersediaan sumberdaya). Bila antara” keinginan” dan “sumber daya” terdapat perbedaan, maka kelangkaan eksis.
Ekonomi Politik Neoklasik. Sekalipun ada banyak unsur dari pemikiran awal smith yang tetap dianut hingga sekarang (atau aliran neoklasik), namun ilmu ekonomi klasik  bukanlah sekedar versi modern dari ekonomi politik klasik. Bahkan pendekatan neoklasik dianggap lahir pada decade 1870 yaitu bertepatan dengan bangkitnya aliran marginalis dalam ilmu ekonomi. Sebelum 1870, ilmu ekonom sebagai sebuah system pemikiran didominasi oleh agenda klasik, seperti pertumbuhan, distribusi dan teori nilai tenaga kerja, dan setelah decade 1870an, agenda ini mengalami banyak perubahan, biarpun memang perubahan itu tidaklah drastis.
Pendekatan neoklasik bertolak dari ide tentang maksimalisasi kebutuhan individu. Langkah berikutnya adalah menggunakan ide ini  untuk mendefenisikan kondisi-kondisi maksimalisasi kesejahteraan untuk sebuah system yang terdiri dari beberapa individu yang saling terkait. Kesejahteraan dari sebuah kelompok harus didefisikan secara berbeda dari kesejahteraan individu (biarpun pendefenisian itu tetap didasarkan pada kesejahteraan individu). Sebuah kelompok dikatakan mendapatkan kesejahteraan yang maksimal ketika semua anggota dari kelompok itu berhasil memaksimalkan kesejahteraannya masing-masing, asalkan kesejahteraan dari semua individu dalam kelompok itu saling terkait satu sama lain.
Ekonomi politik neoklasik selanjutnya juga menerapkan logika ekonomi dasar dari pilihan terbatas terhadap situasi-situasi di mana transaksi pribadi tidak berhasil memaksimalkan kesejahteraan. Istilah ekonomi di sini digunakan dalam dua artian. Artian yang pertama dan yang paling mendasar dari ekonomi di sini adalah penghematan (Economizing) yang dilakukan karena terbatasnya pilihan yang ada. Yang kedua ekonomi disini berarti menggunakan mekanisme pasar sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pemenuhan terhadap kebutuhan individu. Cara lainnya adalah lewat politik. Maka ekonomi politik kadang akan mengarah pada penelitian terhadap batas-batas dari pasar sebagai institusi untuk pemenuhan kebutuhan dan kadang mengarahkan kita kepada teori politik berbasis ekonomi. Dalam bab ini kami akan membahas ekonomi politik sebagai penelitian terhadap batas-batas pasar.
2.      Ekonomi Politik Keynesian
Ada tiga peran yang dapat dilakukan negara untuk mengatasi masalah eksternalitas. Pertama, pembagian otoritas dan tanggung jawab antara pemerintah lokal, pemerintah pusat/negara, dan badan-badan pemerintah (misalnya pengawasan polusi udara) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan seetiap program. Kedua, keengganan umum untuk menggunakan kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah eksternalitas, seperti pajak bagi penghasil polutan. Ketiga, ketidak mauan untuk mempetimbangkan tingkat ‘optimal’ dari kerusakan lingkungan (environmental disruption) menyebabkan eksternalitas hanya bisa diatasi melalui pengeluaran sumberdaya masyarakat (society’s resources). Jadi dengan tiga peran itulah negara bisa datang untuk menuntaskan masalah eksternalisasi.
Berpijak pada pandangan inilah, maka pendekatan EPK dalam derajat tertentu menghendaki adanya peran negara dalam aktivitas ekonomi. Mahzab Keynesian menghendaki adanya peran negara peran negara dalam perekonomian hanya ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan. Oleh karena itu, sepanjang mekanisme pasar tidak mengalami kegagalan, negara tidak diizinkan untuk mengintervensi pasar.
Lebih lanjut, fokus utama EPK adalah terciptanya fokus utama stabilitasproses produksi dan pertumbuhan yang dilakukan oleh kelompok pemodal. Dengan aktivitras ini, dipastikan kegiatan produksi sekaligus transaksi perdagangan yang dipelopori dengan aktor utama pemilik modal akan dapat mendonasikan pendapatan yang besar bagi negara. Internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain yang tidak kalah spektakuler. Kaum klasik/neoklasik berpandangan sangat logis bahwa pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik inefisiensi ekonomi yang digeliti oleh warga/firma suatu negara.
Ekonomi Politik Keynesian. Pendekatan Keynesian mengajukan sebuah kritik terhadap konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunaka oleh pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Kritik dari pendekatan Keynesian ini mempertanyakan pandangan bahwa system pasar yang tidak diregulasi akan dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi produksi yang ada dalam sebuah masyarakat.
Inti dari argument tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri adalah bahwa system pasar akan mempertemukan  orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki pasokan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dari smeua orang akan terpenuhi sedapat mungkin. Argumen neoklasik ini merujuk pada harga dan permintaan. Harga dari barang akan naik atau turun sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan pasar akan terpenuhi yaitu semua yang dibawa produsen ke pasar akan selalu mendapatkan pembeli. Mekanisme harga ini akan menjamin bahwa permintaan akan selalu ada dan sekaligus membuat investasi capital diarahkan pada bagian-bagian yang memerlukan lebih banyak investasi, dimana kebutuhan yang lebih tinggi akan investasi ini akan ditandai dengan adanya profitabilitas yang lebih besar.
Menurut argument neoklasik ini, memang bias jadi seorang produsen tertentu akan gagal untuk menjual semua yang mereka produksi atau bias mereka produksi, karena apa yang mereka jual tidak diinginkan oleh mereka yang memiliki daya beli yang cukup untuk membelinya.
Kritik dari pendekatan Keynesian mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli bias jadi merupakan kesalhan sistemik yang ada tidak ada hubunganya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melainkan bisa disebabkan karena kegagalan dari mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar gagal untuk mempertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat.
Kritik dari pendekatan Keynesian berusaha untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dengan pasar. Namun sejauh ini, banyak ekonom dari aliran Keynesian menyimpulkan bahwa kegagalan dalam permintaan agregat (kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen dalam jumlah sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar) tidak harus diperlukan sebagai sebuah masalah politik. Para ekonom Keynesian mengajukan argument bahwa stabilitasdan kecukupan dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administrative dan bukan dengan cara politik. Argumen dari pendekatan Keynesian ini, tentus saja, dapat diperdebatkan lagi. Tapi yang penting disini adalah bahwa perdebatan terhadap pandangan dari aliran Keynesian ini akan menggeser focus dari topic-topik utama dalam ekonomi politik ke bidang yang berbeda, sehingga akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, diantaranya: dalam kondisi yang bagaimana pengelolaan yang dilakukan Negara terhadap perekonomian memerlukan agenda politik dan tidak cukup hanya dengan menggunakan fungsi administratif.
Pendekatan Keynesian memfokuskan pada ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis. Karena adanya beberapa factor seperti yang akan dipaparkan nanti dalam bagian ini, perekonomian kapitalis mengandung proses-proses yang membuat reproduksi di dalamnya menjadi tidak stabil sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti perkembangannya. Proses-proses yang menimbulkan ketidakstabilan ini membuat kita menjadi ragu tentang sejauh mana pasar yang meregulasi dirinya sendiri dapat dijadikan institusi bagi masyarakat untuk mengorganisir produksi dan distribusi barang.
Kebijakan ekonomi dan kerja penuh. Solusi yang ditawarkan oleh Keynes untuk persoalan pengganguran karena itu berpusat pada tingkat aggregate demand. Tingkat aggregate demand menentukan tingkat output yang terkait dengan tingkat kesempatan kerja. Jika ekonomi di bawah kesempatan kerja penuh, maka tingkat aggregate demand bisa ditingkatkan sampai ke sebuah titik yang melalui mekanisme multiplier, ekonomi tersebut mencapai tingkat kesempatan kerja penuh.
Tingkat aggregate demand mempunyai komponen berbeda, dalam sebuah ekonomi tertutup komponen adalah konsumsi, investasi dan belanja Negara : AD=C+I+G. Karena itu mengontrol AD melalui control dari kompomen-komponen itu.
Dua kebijakan ekonomi diadopsi dalam keynesianisme pasca perang untuk mengontrol komponen-komponen dari aggregate demand. Kebijakan fiscal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiscal adalah berdasarkan pada control belanja (G) dan tingkat pajak (T). Sedangkan kebijakan moneter memanipulasi tingkat bunga (I) dan jumlah penawaran uang M melalui kredit dan operasi pasar terbuka (pembelian dan penjualan surat utang oleh Bank Sentral). Karena dalam framework Keynesian permintaaan adalah mesin dari ekonmi (sementara dalam framework liberal ini adalah penawaran – ingat hokum Say:penawaran menciptakan permintaanya sendiri), maka baik kebijakan fiscal maupun moneter menjadi alat untuk usaha mengontrol komponen tingkat aggregate demand yang karennya akan mempengaruhi output kesempatan kerja.
3.      Ekonomi Politik Marxian
Ekonomi Politik Marxian (EPM) merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme). Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut dianggap  oleh Karl Marx sangat exploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapan dengan pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-pranata faktor produksi selalu terlambat ketimbang percepatan inovasi produksi (teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah ,dan tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor – faktor produksi  lebih banyak menguntungkan pemilik tenaga kerja (budak/slave), sementara pada zaman feodal keuntungan itu banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada zaman kapitalis saat ini pemegang polis atas profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang mengemuka adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14) berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi), dan itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.



Sumber :
Caporaso, jemis A & David P. Levine. 2008. Teori-teori Ekonomi Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Deliarnov .2009. Ekonomi Politik. Jakarta : Erlangga
Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau Yogyakarta. 2012. Modul Sekolah Advokasi Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta  : Resist Institute
Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tryan, Dean. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Politik. http://deantriyan.blogspot.com/2012/05/sejarah-pemikiran-ekonomi-politik.html

ANALISIS PELIMPAHAN KEWENANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) KE DAERAH (TINJAUAN EKONOMI)


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini tentunya membahas bagaimana konsep perpajakan di Indonesia dalam membangun perekonomian daerah. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah disahkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi daerah. Dengan diundangkannya Undang-Undang tersebut maka daerah sepenuhnya diberikan legalitas dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya masing-masing. Terkait dengan sistem pajak di Indonesia dalam hal ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami perubahan mendasar, yakni adanya pelimpahan kewenangan ke daerah dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menyusun  sebuah bentuk riset data terhadap perihal tersebut.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Walaupun kami tahu bahwa dalam malakah ini masih banyak kekurangan dalam hal materi, teknik  penulisan, sampai kepada format malakahnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan representasif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pembacanya. Olehnya itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi pembuatan makalah selanjutnya.


Makassar, Desember 2012


Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATARBELAKANG
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasar kan UU No. 12 Tah un 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan  adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan ke pada daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing). Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur dalam pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.
Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi Otonomi Daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan  kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan PBB sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan  pemerintahan daerah. Untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai sumber sendiri, sehingga tidak perlu selalu tergantung pada sumber-sumber dari Pemerintah Pusat.
Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat, dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah.


Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan  serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi  korupsi akibat berpindahnya lokus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Sedang pada tingkatan pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.
Dari perkembangan antara pro dan kontra atas kedua UU tersebut, berkembang pemikiran untuk menjadikan PBB sebagai pajak daerah. Di Indonesia, salah satu kebijakan pajak dari pemerintah pusat yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap APBD yaitu PBB. Oleh karena itu dalam merumuskan kebijakan PBB, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah senantiasa melakukannya dengan penuh kehati-hatian karena PBB terkait dengan berbagai aspek lainnya yang sangat sensitif baik secara ekonomi maupun secara politik. PBB jika dirancang baik-baik dapat menjadi sumber penerimaan yang besar, stabil, dan elastis. Kadar elastisitas tergantung pada sampai seberapa jauh tanah bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dapat dinilai menurut harga pasar yang berlaku. PBB dapat juga memperkuat peranan pemerintah daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi penerimaan pemerintah sendiri. PBB yang efektif akan menciptakan  sumber penerimaan yang kuat bagi pemerintah daerah dan memperkecil kebutuhan akan bantuan dari Pemerintah Pusat.
Walaupun kontribusi PBB tidaklah terlalu besar dalam struktur penerimaan negara, tetapi sangat berarti dan tidak mungkin dihilangkan. Seperti diungkapkan oleh Santoso Brot odihardjo, bahwa betapapun kecilnya jumlah uang yang akan dapat masuk kedalam kas negara, uang itu selalu akan dapat dipergunakan sebagai sumbangan untuk menutupi biaya-biaya pemerintahannya. Namun demikian, PBB termasuk jenis pajak yang sulit dalam pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah karena jumlah obyek pajaknya yang  cukup banyak. Akan tetapi bukan kebetulan apabila wacana Untuk menjadikan PBB sebagai pajak daerah muncul ke permukaan sebagai bagian dari desentralisasi fiskal bersamaan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008  Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.


Dalam bidang perpajakan sendiri, PBB terkait dengan beberapa pajak lainnya. NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)  yang merupakan salah satu produk dari PBB telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB juga menjadi  dasar perhitungan PPh final atas penjualan properti, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas hak yang telah diterima  oleh pembeli. Bahkan masyarakat dan institusi tertentu juga menggunakan NJOP sebagai dasar dalam penghitungan kegiatan kredit perbankan, gadai, tukar guling (ruislag), ganti rugi, penilaian aset swasta dan pemerintah, dan kegiatan lainnya.
Pada masa mendatang PBB tidak hanya memfokuskan pada peningkatan penerimaan tetapi mempunyai banyak fungsi lainnya (multipurpose). Pemanfaatan data PBB berbasis teknologi Informasi yang komprehensif yang terintregasi mulai dari SISMIOP (Sistim Informasi Manajemen Obyek Pajak) yang kemudian dikembangkan ke arah Bank Data Nasional melalui program SIG PBB (Sistim Informasi Geografis PBB) yaitu dengan mempetakan secara  digital semua obyek pajak PBB dan kemudian m-link kan semua data PBB yang telah mencakup ± 84 juta obyek pajak dan ± 75 juta wajib pajak dalam program SIN (Single Identification Number), yaitu program pengisian peta tersebut dengan data dari subyek pajak yang berkaitan dengan semua nomor identitas dari subyek pajak seperti KTP, SIM, STNK, NPWP, tagihan air, listrik, dan telepon dan lain sebagainya bahkan sampai ke nomor rekening Bank dari subyek pajak. Sehingga nantinya memungkinkan semua instansi yang terkait seperti Kantor Pelayanan Pajak, Badan Pertanahan Nasional, Perbankan, Dinas Kependudukan, Imigrasi, bahkan Kepolisian dapat menggunakan dan mengaksesnya melalui Bank Data SIN PBB.
Demikianlah bahwa eksistensi PBB tidak hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga strategis dan signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan dan kehidupan masyarakat. Seperti diketahui hampir semua kegiatan manusia berlangsung di atas bumi dan terkait dengan persoalan bumi dan bangunan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan hal tersebut sangat sensitif bagi masyarakat. Dan sampai saat ini pengelolaan PBB di Indonesia masih  menggunakan sistem terpusat karena berbagai pertimbangan yang telah memenuhi tujuan pokok dari perpajakan nasional dan prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional.
B.     RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan hal-hal yang di uraikan diatas, maka dipandang perlu pengkajian yang menyangkut kebijakan pembiayaan keuangan daerah yang efektif guna yang mendukung program otonomi  daerah. Kajian yang mendalam, komprehensif dan objektif diperlukan karena kondisi masing-masing daerah yang berbeda sehingga tingkat perekonomian daerah juga berbeda. Hal inilah yang mendasari penulis untuk merumuskan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu menganalisis pro dan kontra terhadap kebijakan pelimpahan kewenangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam persfektif ekonomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     OTONOMI DAERAH DAN ASAS DESENTRALISASI
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.
1)    Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan.
2)    Asas dekonsentrasi, yaitu yang pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.
3)    Asas Pembantuan, berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi pijakan munculnya otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang. Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan:
·         Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;
·         Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien; 
·         Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
·         Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

B.     HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
ü  Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
ü  Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang KUP, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ü  Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang".
ü  Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

1.      Jenis Pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
a.    Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
Ø  Pajak Penghasilan, diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Ø  Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
Ø  Bea Materai, diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
b.    Pajak Daerah, Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
1)    Pajak Provinsi terdiri dari:
Ø  Pajak Kendaraan Bermotor;
Ø  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Ø  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
Ø  Pajak Air Permukaan; dan
Ø  Pajak Rokok.
2)    Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
Ø  Pajak Hotel;
Ø  Pajak Restoran;
Ø  Pajak Hiburan;
Ø  Pajak Reklame;
Ø  Pajak Penerangan Jalan;
Ø  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Ø  Pajak Parkir;
Ø  Pajak Air Tanah;
Ø  Pajak Sarang Burung Walet;
Ø  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
Ø  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.      Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Nyata bahwa pajak-pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a)    Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
b)    Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c)    Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

d)    Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
3.      Mekanisme Pemungutan Pajak
Pajak yang dibebankan kepada masyarakat sekarang ini cukup besar jumlahnya dibandingkan hasil dari pemungutan pajak yang penggunaannya tidak efisien sama sekali dengan berbagai keterpurukan dibidang ekonomi maupun sosial masyarakat. Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
a)    Teori Asuransi
Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
b)    Teori kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak..
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah :
a)    Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
b)    Asas sumber, negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu.
c)    Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle), dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.

C.     PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Beberapa landasan pemikiran yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) adalah sebagai berikut :
1)    Adanya peraturan pajak atas tanah yang tumpah tindih.
Beberapa peraturan yang dilaksanakan untuk instansi pusat maupun daerah seperti :
a.    Ordonansi Pajak Rumah Tangga
b.    Ordonansi Verponding Indonesia 1923
c.    Ordonansi Verponding 1928
d.    Ordonansi Pajak Kekayaan 1932
e.    Ordonansi Pajak Jalan 1942

2)    Amanat dalam Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)
Mengisyaratkan bahwa diperlukan adanya pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, karena semakin meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri akan semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.
3)    Manfaat Bumi dan Bangunan
Bumi dan Bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara berupa pembayaran pajak. Dengan adanya beberapa pemikiran diatas, maka wajar apabila peraturan atau ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan diganti dengan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
v  Subyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
a.    mempunyai suatu hak atas bumi, dan / atau;
b.    memperoleh manfaat atas bumi, dan / atau;
c.    memiliki, menguasai atas bangunan, dan / atau;
d.    memperoleh manfaat atas bangunan.
Subyek pajak sebagaimana dimaksud diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang
v  Obyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Obyek PBB adalah “Bumi dan/ atau bangunan”:
a.    Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, Contoh: sawah, ladang, kebun, tambang, dll.
b.    Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ atau perairan di wilayah Republik Indonesia, Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung anjungan minyak lepas pantai, dll

v  Obyek Pajak PBB yang dikecualikan
Obyek yang dikecualikan adalah :
a.    Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
b.    Digunakan untuk kuburan,
c.    Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
d.    Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
e.    Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.



BAB II
PEMBAHASAN
Perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya UU PDRD, PBB P2 merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat namun demikian hasilnya seluruhnya diberikan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian tentunya pemerintah daerah mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap pajak ini. Pola tax sharing seperti ini memang dahulu sangat diperlukan terutama sebagai salah satu sumber penyeimbang pendapatan daerah, sesuai dengan salah satu fungsi pajak itu sendiri yaitu sebagai pengatur (reguleren). Namun seiring dengan berkembangnya rezim otonomi daerah dimana daerah diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola sumber-sumber pendapatannya maka pola bagi hasil tersebut menurut pengagas UU PDRD ini sudah tidak relevan lagi.
Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2 diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan kebutuhan daerah yang selalu meningkat setiap tahunnya yang selama ini masih sebagian besar dibiayai dari dana transfer DAU dan DAK dari pemerintah pusat dianggap kurang mencerminkan bentuk kemandirian daerah. Hal ini  pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Jika sebagian besar pembiayaan kebutuhan daerah diperoleh dari DAU dan DAK, maka otomatis peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahannya dianggap menjadi kurang dewasa. Diharapkan bila PAD dari sektor pajak semakin meningkat maka tentunya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut akan semakin tinggi, dan kesadaran untuk membayar pajak daerah serta retribusi daerah atas pelayanan publik yang langsung akan mereka nikmati juga akan makin tinggi.
Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap pembebanan tertentu kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Argumen lainnya yang dilontarkan sehubungan dengan proses pengalihan ini adalah bahwa objek pajak properti lebih bersifat immobile, dalam arti tidak dapat dipindahkan ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak daerah.
Gambar 1. Skema pengalihan seluruh kewenangan pemungutan PBB P2
Sebenarnya jika dilihat dari proses pemungutannya sejak dulu pemerintah daerah telah terlibat aktif terutama dalam hal penyampaian SPPT PBB P2 kepada wajib pajak dan pelaksanaan penagihan yang dilakukan secara bersama-sama dengan dibentuknya tim intensifikasi penagihan PBB P2. Namun demikian peran daerah tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan secara otomatis bahwa daerah mampu mengelola pajak ini dengan baik seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Masih perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti masalah teknis administratif, SDM, struktur organisasi, teknologi informasi dan hal-hal lainnya. Demikian juga masalah bagaimana menjaga kesinambungan penerimaan negara (fiscal sustainability) dan beban pajak masyarakat. Untuk itu perlu perhatian dan persiapan serius bagi pemda yang nantinya akan mengelola PBB P2. Masyarakat sangat berharap jangan sampai upaya pendaerahan PBB  P2 itu justru menjadi tidak produktif dan akan semakin menambah beban masyarakat dan pemda itu sendiri.
Jika ditinjau dari sisi pengalihan penerimaan sebenarnya tidak semua daerah akan menikmati pertumbuhan PAD dari PBB P2. Dari hasil analisa perhitungan perubahan penerimaan PBB P2 akibat dari berlakunya UU 28 tahun 2009, hanya akan dinikmati oleh kota-kota besar saja yang dalam waktu dekat akan mengalami penambahan penerimaan dari proses devolusi ini. Perhatikan skema pembagian penerimaan PBB P2 sebelum UU PDRD berlaku.

Gambar 2. Skema bagi hasil PBB P2 menurut UU PBB
Menurut UU PBB, pemerintah Kabupaten/Kota akan menerima penerimaan PBB P2 sebesar 64,8% ditambah :
1)     Bagi rata penerimaan (6,5% dibagi seluruh jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia),
2)     Insentif bagi pemda Kabupaten/Kota yang capaian realisasi penerimaannya 100% (3,5% dibagi menurut proporsi capaian penerimaan),
3)     Sebagian dari biaya pemungutan.
Tambahan dari ke tiga item di atas itu saja ditahun 2010 paling tidak akan mencapai 2,5-3 miliar setahun. Dengan berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil di atas menjadi tidak berlaku lagi. Pemda Kabupaten/Kota akan murni menerima seluruh penerimaan PBB P2 untuk setiap tanah dan atau bangunan yang hanya berada di lokasinya saja menjadi PAD tanpa perlu dibagi lagi ke daerah lain dan Propinsi. Dengan demikian terbuka peluang tambahan penerimaan dari PBB P2 sebesar 35,2%. Apakah semua daerah akan merasakan hal yang sama ? Mari kita kaji lebih jauh.
Dari hasil simulasi menggunakan data realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010 berdasarkan skema bagi hasil pada gambar 2, kemudian dibandingkan dengan realisasi penerimaan PBB P2 setelah penerapan UU PDRD untuk studi kasus Provinsi Sumbar dan Jambi menghasilkan pola perubahan yang berbeda.





Tabel 1. Simulasi realisasi penerimaan PBB P2 berdasarkan UU PBB dan UU PDRD
Sumber: Data diolah dari realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010
Untuk Provinsi Sumbar dengan diberlakukannya UU PDRD dalam jangka pendek kemungkinan hanya 3 daerah saja yang akan mengalami peningkatan penerimaan PBB P2, sedangkan 16 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami penurunan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Sumbar akan mengalami penurunan sekitar 5,03%. Kemudian untuk Provinsi Jambi dari hasil simulasi diperoleh hasil yang bertolak belakang. Dalam jangka pendek hanya 3 daerah saja yang akan mengalami penurunan penerimaan PBB P2, sedangkan 8 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami peningkatan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Jambi akan mengalami peningkatan sekitar 0,86% atau tidak jauh berbeda ketika penerapan UU PBB sebelumnya.
Mengapa dikedua provinsi ini mengalami perbedaan pola penerimaan yang cukup signifikan sehubungan dengan penerapan UU PDRD ? Jika dilihat dari kondisi wilayah, untuk provinsi Sumbar sebagian besar daerahnya masing sangat mengandalkan penerimaan PBB P2 dari bagi rata 6,5% dan insentif 3,5%. Artinya terjadi ketimpangan yang sangat besar antara realisasi penerimaan murni dan tambahan bagi hasil dari daerah lain. Akibatnya ketika penerapan UU PDRD seluruh bagi rata yang selama ini diperoleh dari bagian daerah lain sebesar 2,5-3 miliar setahun akan hilang.
Kondisi berbeda terjadi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi ternyata selama ini merupakan salah satu provinsi yang menyalurkan sebagian penerimaan PBB P2 ke daerah lain. Sehingga ketika penerapan UU PDRD, untuk sebagian besar Kabupaten/Kota di provinsi ini justru dalam jangka pendek sudah dapat menikmati peningkatan penerimaan PBB P2. Hal ini juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor properti di kedua provinsi tersebut yang cukup mencolok.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah biaya pengelolaan PBB P2 (collection cost). Biaya pengelolaan yang selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan berlakunya UU PDRD maka pemerintah daerah secara otomatis akan menanggungnya. Artinya dimungkinkan ada daerah yang biaya pengelolaannya nanti akan lebih besar dibandingkan dengan hasil pemungutannya.
A.     Mekanisme Penetapan PBB
PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak. Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai..

Gambar 3. Formula perhitungan ketetapan PBB menurut UU PDRD
Untuk menyusun ketetapan PBB P2 ada 3 variabel inti yang perlu dipersiapkan baik oleh pemerintah daerah sendiri maupun bersama-sama dengan DPRD. Ketiga variabel tersebut antara lain :
a.    Tarif pajak ditetapkan dengan Perda sebesar maksimal 0.3%,
b.    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) à NJOPTKP ditetapkan dengan Perda sebesar paling rendah 10 juta rupiah,
c.    Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) à NJOP diatur melalui peraturan Bupati/ Walikota.
Perhitungan ketetapan PBB P2 dalam UU PDRD ini sedikit berbeda dibandingkan dengan UU PBB lalu. Perbedaan terlihat terutama pada penerapan tarif (maksimal 0.3%) dan NJOPTKP (minimal 10 juta rupiah). Tarif efektif yang dulu berlaku ada 2 yaitu 0.1% untuk objek pajak yang NJOP-nya lebih kecil dari 1 miliar rupiah dan 0.2% apabila NJOP-nya lebih besar atau sama dengan 1 miliar rupiah.
Pemda perlu hati-hati dalam menentukan tarif ini karena setiap daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan besaran tarif tersebut, sehingga kedepan kemungkinan besar akan ditemui variasi tarif PBB P2 antar daerah. Diperlukan kajian yang sangat mendalam untuk menentukan berapa besar tarif PBB P2 yang akan diterapkan agar pokok ketetapan PBB P2 yang dimiliki selama ini tidak mengalami penurunan dan masyarakat tidak bergejolak setelah ketetapan PBB P2 diluncurkan. Untuk menetapkan kedua variabel ini tentunya pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa bekerja sendiri, perlu membicarakannya dengan DPRD sebagai pihak legislator yang kemudian dituangkan dalam bentuk Perda.
Variabel yang bisa langsung dikontrol sendiri oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah dalam hal menetapkan besarnya NJOP tanah dan bangunan. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah suatu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. NJOP ini ditetapkan sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 terhadap suatu objek bumi dan atau bangunan.  Apabila tidak diperoleh harga transaksi jual beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. Yang dimaksud dengan :
·         Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya,
·         Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
·         Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak  tersebut.
Selama ini penentuan besarnya NJOP dan klasifikasinya sebagai dasar pengenaan PBB diatur melalui Peraturan (Keputusan) Menteri Keuangan, dan yang berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998. Namun karena ketentuan ini sudah sangat lama, dan sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengenaan PBB, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan ketentuan ini Klasifikasi NJOP Bumi sektor P2 dibagi menjadi 100 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 68.545.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 100 dengan NJOP sebesar Rp 140/m2. Sedangkan Klasifikasi NJOP Bangunan sektor P2 menurut ketentuan ini dibagi menjadi 40 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 15.250.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 40 dengan NJOP sebesar Rp 50.000/m2. Tentunya setelah menjadi pajak daerah apabila masih menginginkan metode perhitungan NJOP yang sama, ketentuan klasifikasi NJOP ini menjadi tidak berlaku lagi dan pemda perlu melakukan replikasi aturan tersebut kedalam peraturan Bupati/Walikotanya.
Sebelum dinilai dan ditentukan NJOP-nya, setiap objek berupa tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh subjek pajak perlu didata terlebih dahulu. Proses pendataan berupa pengumpulan data yang berkenaan dengan objek dan subjek pajak dimaksud dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (LSPOP). Proses pendataan ini dapat dilakukan secara langsung oleh fiskus atau pun wajib pajak yang datang sendiri dan melaporkannya ke kantor pajak setempat.
B.     Mekanisme Pemungutan PBB
Tahap selanjutnya setelah pemda kabupaten/kota menghitung besaran PBB P2 yang nantinya akan tertuang dalam SPPT, langkah selanjutnya adalah melakukan proses penetapan SPPT. Tentunya karena jumlah objek pajak yang dikelola sangat banyak untuk provinsi Sumbar saja sekitar 2 juta SPPT dan provinsi Jambi sekitar 910 ribu SPPT, maka tidak mungkin dikerjakan secara manual. Untuk itu perlu dikelola dengan menggunakan sebuah sistem manajemen teknologi informasi. Teknologi informasi yang telah dipakai selama ini disebut dengan sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP). Setelah seluruh SPPT tercetak, tahap selanjutnya adalah melakukan distribusi SPPT ke seluruh wajib pajak melalui channel Kecamatan, Kelurahan dan RT/RW.
Proses selanjutnya adalah mengadministrasikan pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Saluran pembayaran PBB P2 selama ini dapat dilakukan melalui bank-bank tempat pembayaran yang ditunjuk atau dapat pula melalui sistem jaringan ATM dan internet banking. Tentunya sistem pembayaran yang sudah berjalan selama ini tidak akan dapat berfungsi lagi bila pemda Kabupaten/Kota tidak membuat kerjasama baru, karena per tanggal 31 Desember jam 17.00 WIB sebelum tahun pengalihan seluruh rekening penampungan penerimaan dan kerjasama bank akan secara otomatis dihentikan.

Dalam jangka waktu tersebut wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan beberapa jenis pelayanan sehubungan dengan SPPT yang telah diterbitkan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa keberatan atas SPPT, pengurangan atas ketetapan karena ketidakmampuan bayar, pembetulan data, pembatalan SPPT, mutasi SPPT, penerbitan baru dan lain-lain.
Apabila jatuh tempo 6 bulan setelah SPPT diterima terlampaui dan wajib pajak belum melakukan pembayaran PBB P2, maka langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah melakukan proses penagihan aktif (law enforcement). Tentunya ada beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum sampai pada proses penagihan secara aktif oleh fiskus.


















BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Pajak Bumi dan Bangunan daerah perdesaan dan perkotaan dapat memberikan pemasukan bagi daerah untuk menabah kas keuangan daerah maupun kas Negara sendiri, pajak dapat juga digunakan untuk pembangunan daerah, disegala bidang, baik dibidang kesehatan masyarakat,pendidikan, maupun dalam penyelenggaran kerja pemerintah daerah. Begitu banyak penyalahgunaan fungsi pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Pembahasan diatas dapat menjelaskan secara ringkas objek pajak,wajib pajak, penyelesaian kasus perpajakan. Bagaimana cara menghitung BPHTB serta kesiapan setiap pemkot dalam menangani urusan pajak, yang harus sesuai dengan peraturan. Pemkot juga memiliki tantangan yaitu pegawai pemkot harus memiliki wawasan dalam perpajakan dan dalam memberikan pelayanan bagi wajib pajak. Bagaimanapun juga, langkah terbaik yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan baru ini adalah segera membenahi dan melengkapi segala kekurangan yang ada. Seyogyanya, segala hambatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan menjadi peluang.
B.     SARAN
Pajak diharapkan langsung dapat disalurkan kepada masyarakat, tanpa harus melalui pemerintah pusat, sebab dengan melihat prosedur penyaluran pajak di Negara kita yang korup ini dapat memberikan kesempatan bagi pihak-pihak tertentu untuk untuk melakukan penyalahgunaan, baik karena ada kesempatan maupun karena pengetahuan masyarakat kurang terhadap pajak sehingga, masalah urusan pajak masyarakat hanya bisa percaya kepada pemerintah saja.









DAFTAR PUSTAKA
Darwin. 2012. Pendaerahan PBB. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/ok-pbb/1082-pendaerahan-pbb
Feberti Zaluku, Maria Patriot. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan.
Juliarini, Aniek. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/yogyakarta/index.php?option=com_content&view=article&id=329:pajak-bumi-dan-bangunan-pedesaan-dan-perkotaan-makalah&catid=3:berita&Itemid=11
Priandana, Hernanda Bagus. 2009. Keberadaan Pajak Bui dan Bangunan Sebagai Pajak Pusat Dalam Era Otonomi Daerah