KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Dalam makalah ini membahas tentang
tahapan implementasi sebuah kebijakan yang merupakan tahapan yang krusial,
karena tahapan ini menentukan keberhasilan sebuah kebijakan. Tahapan
implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap perumusan dan pembuatan
kebijakan.
Implementasi sebuah kebijakan secara
konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam,
manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus
diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil
tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam
kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan
perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil
sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang
harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan..
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat
digunakan sebagaimana mestinya. Walaupun kami tahu bahwa dalam malakah ini
masih banyak kekurangan dalam hal materi, teknik penulisan, sampai kepada format malakahnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah
satu bahan representasif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pembacanya.
Olehnya itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi pembuatan makalah selanjutnya.
Makassar, Desember 2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Akhir-akhir ini, kita dihadapkan pada
sebuah dilema kebijakan yang nyata. Sebuah fakta yang menarik, dimana produksi
kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah terus bertambah. Namun,
seiring dengan bertambahnya kebijakan tersebut, sejumlah masalah justru terus
terjadi. Sebut saja masalah bencana baik karena bencana alam maupun bencana
akibat ulah manusia, tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gunung meletus,
bencana banjir, ancaman tsunami, masalah kemacetan, pesawat jatuh, tabrakan
kereta api dan lain sebagainya seolah tak pernah takut dengan kebijakan yang
lahir, bahkan berani menantang, melawan dan bahkan membunuh.
Padahal, secara teori kebijakan publik
merupakan suatu keputusan yang diambil untuk menghadapi situasi atau
permasalahan, mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang tujuan,
cara dan sarana untuk mencapainya. Apa yang salah dengan kebijakan kita?
Bukankah kita telah memiliki aktor-aktor kebijakan baik dari pemerintah maupun
dari kalangan legislatif? Atau sebenarnya kita tidak memahami proses merumuskan
kebijakan? Atau jangan-jangan kita salah merumuskan agenda setting? Ataukah
banyaknya kepentingan yang harus kita akomodasi, sehingga kebijakan kita
cenderung tidak fokus?
Saat ini, produk kebijakan publik di
Indonesia masih memiliki wajah yang memprihatinkan yang ditandai antara lain
adanya tumpang tindih kebijakan, ketidakjelasan urgensi keberadaan kebijakan
publik, prosedur yang tidak tepat dalam pembuatan kebijakan publik, serta minimnya
naskah akademik sebagai dasar pembuatan kebijakan. Permasalahan tersebut akan
semakin mengemuka jika kita kaitkan dengan kewenangan. Idealnya kebijakan
publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya
tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai
dengan kewenangannya. Sering sekali kewenangan ini diterjemahkan secara berbeda
di antara level pemerintahan, sehingga yang terjadi kemudian adalah melegalisir
kewenangan dengan tindakan pengaturan melalui pembuatan kebijakan publik yang
mengakibatkan munculnya fenomena over–regulation dan tumpang tindih kebijakan
di berbagai level pemerintahan.
Catatan lain bagi perkembangan
kebijakan publik di Indonesia adalah mengenai akuntabilitas. Akuntabilitas kebijakan
publik diartikan sebagai upaya sebuah kebijakan publik dapat
dipertanggungjawabkan secara memadai kepada masyarakat yang dilayaninya.
Berkaca dari berbagai permasalahan di atas, maka upaya menciptakan
akuntabilitas kebijakan publik masih membutuhkan berbagai pembenahan dalam
proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia. Upaya pembenahan tersebut
antara lain telah dilakukan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor : PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan
Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah.
Beranjak dari uraian inilah penulis
mengangkat pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah, yaitu tentang proses
kebijakan publik. Bagaimana sebuah kebijakan itu lahir dan mendapat respon dari
masyarakat, apakah respon itu bersifat pro ataupun kontra.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka penulis
dapat merumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
1.
Defenisi
Kebijakan Publik
2.
Formulasi
Kebijakan Publik
3.
Bentuk
Penyimpangan Dalam Proses Kebijakan Publik
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI
KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat
diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut
sebagai “public policy”, yaitu suatu
aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat
seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh
lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara
sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat
kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita
harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut
kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut
menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh
para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan
menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan
publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik
mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau
tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan
apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik
agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan
berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan,
walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah
letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas
Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran
yang strategis dari pemerintah sebagai publik aktor, terkait dengan kebijakan
publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan
suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar
mengatakan bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi
sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat
strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh (Aminullah dalam Muhammadi,
2001: 371 – 372).
Demikian pula berkaitan dengan kata
kebijakan ada yang mengatakan bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata
policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas
kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
(Ndraha 2003: 492-499). Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy
dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
“The concept of policy
has a particular status in the rational model as the relatively durable element
against which other premises and actions are supposed to be tested for
consistency.”
Dengan demikian yang dimaksud
kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan
yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya
kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat
menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye
merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit,
model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan
model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang
diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan
model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry
dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh,
baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran
tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal
Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan
yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif
ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi
yang bersangkutan.
2. Kebijakan pelaksanaan adalah
kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan
pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3. Kebijakan teknis, kebijakan
operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif
sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis
kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan.
Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89). Analisis Kebijakan
(Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu
pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah
ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian
secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan
tindakan.
Dengan demikian kebijakan publik
sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi
seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang
dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M.
Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi
negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini
merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan
dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan
Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana
untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai, dan praktik.
B. FORMULASI
KEBIJAKAN PUBLIK
Berdasarkan berbagai
definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya
melalui berbagai tahapan. Suatu kebijakan itu tidak lahir dengan sendirinya,
akan tetapi memerlukan proses yang tidak sederhana. Menurut Thomas R. Dye,
proses kebijakan publik meliputi beberapa hal berikut :
1.
Identifikasi
masalah kebijakan (identification of policy problem). Identifikasi masalah
dapat dilakukan melalui identifikasi apa
yang menjadi tuntutan (demands) atas tindakan pemerintah.
yang menjadi tuntutan (demands) atas tindakan pemerintah.
2.
Penyusunan
agenda (agenda setting) merupakan aktifitas memfokuskan perhatian pada
pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan
diputuskan terhadap masalah publik tertentu.
3.
Perumusan
kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan pengusulan rumusan
kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan melalui
organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokasi
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
4.
Pengesahan
kebijakan (legitimating of policies) melalui tindakan politik oleh partai
politik, kelompok penekan, presiden dan kongres.
5.
Implementasi
kebijakan (policy implementation) dilakukan melalui birokrasi, anggaran
publik, dan aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.
6.
Evaluasi
kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri,
konsultan di luar pemerintah, pers dan masyarakat (publik).
Sementara itu William
Dunn merumuskan tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut:
1)
Penyusunan
Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses
inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik
dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil
mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat
penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda
pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah
kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi
silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau
akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu
agenda kebijakan.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya
dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan
stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi,
dan keterlibatan stakeholder. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan
agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood
dan Gunn, 1986) diantaranya:
·
Telah
mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang
serius;
·
Telah
mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis;
·
Menyangkut
emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat
dukungan media massa;
·
Menjangkau
dampak yang amat luas ;
·
Mempermasalahkan
kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
·
Menyangkut
suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)
2)
Formulasi
kebijakan
Masalah yang sudah masuk
dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif
bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan
masalah.
3)
Adopsi/
Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah
untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan
legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa
tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi –
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
4)
Penilaian/
Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi
kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal
ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan
dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap
dampak kebijakan.
C. BENTUK
PENYIMPANGAN DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Studi kebijakan publik
dalam konteks Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan
dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi
daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan kepada sebagian besar
rakyat, namun dibalik harapan tersebut juga diliputi kekhawatiran. Otonomi
daerah dicemaskan hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak
memperdulikan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka studi kebijakan
publik dengan alasan profesional semakin dibutuhkan.
Dalam posisi yang
bersebelahan dengan kebijakan publik yang semakin penting, perihal
kebijakan publik akan menjadi sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah untuk
melayani masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan kebijakan
publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan untuk
melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap masyarakatnya.
Kemudian diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat sasaran
sesuai dengan prinsip good governance.
Maka dibentuklah suatu agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai wadah
untuk menampung masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah.
Agenda kebijakan berbentuk
daftar masalah tersebut kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil
keputusan untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik yang akan
diambil. Tetapi kenyataan yang diterima oleh masyarakat agenda kebijakan tidak
sepenuhnya tercapai, karena dalam penerapannya kelembagaan pemerintah malah
mendapat permasalahan yang lebih rumit. Hal ini disebabkan antara lain
keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus ditangani oleh
sebuah lembaga pengambil keputusan.
Agenda kebijakan mungkin
hanya mampu membahas beberapa masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang
diterapkan oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal ini kemudian muncul
arti penting memahami masalah berdasarkan urgensinya. Karena bisa saja agenda
kebijakan publik tidak mendasarkan pada aspek prioritas tetapi mungkin karena
motif-motif tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik. Dengan demikian sebelum masalah
menjadi sebuah agenda kebijakan, pada dasarnya telah terjadi pertarungan
ditingkat sebelumnya, yaitu bagaimana seseorang atau lembaga pengambil
keputusan menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda kebijakan.
Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan keterampilan pengambil
kebijakan untuk memahami, mengerti dan akhirnya memutuskan apa yang hendak dimasukkan
dalam agenda kebijakan.
Defenisi
yang menyatakan maksud agenda kebijakan adalah:
“List
of subject or problems to which government officials and people outside of
government closely with these official, are paying some serious attention any
given”
Dari defenisi ini ada beberapa masalah
yang harus digaris bawahi ;
ü
Daftar
urusan atau masalah, contohnya adalah pelayanan umum apa yang harus diperbuat
oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini badan-badan pemerintah yang berhadapan
langsung dengan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan
semata-mata kepentingan kalangan pelaku usaha.
ü
Agenda
kebijakan seharusnya melibatkan orang-orang di dalam maupun di luar
pemerintahan. Artinya dibutuhkan suatu partnership dari berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders) untuk menentukan dan mempengaruhi proses
kebijakan, agar sebuah masalah dapat dimasukkan dalam daftar kebijakan.
ü
Ada
sebuah pandangan terhadap urgensi kebutuhan masyarakat demi tercapainya
pelayanan umum, maka diusulkan letak penting prioritas permasalahan.
Dalam mewujudkan pelayanan publik
melalui kebijakan publik yang digagas oleh pemerintah dibutuhkan suatu
kerjasama dengan masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik yang tepat guna.
Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya pemerintah daerah,
sepertinya mengenyampingkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga banyak
bermunculan kebijakan publik yang berorientasi kepada motif ekonomi dan motif
politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini terjadi? Karena tidak
adanya akuntabilitas birokrasi terhadap kenyataan publik, maka terjadilah
penyimpangan-penyimpangan agenda kebijakan publik yang tidak berorientasi
kepada pelayanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan ini akhirnya membentuk
sesuatu yang dinamakan simpul korupsi birokrasi.
Korupsi adalah penyebab utama mengapa
tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tidak bisa ditingkatkan melalui
kebijakan pemerintah. Fenomena korupsi juga menjelaskan mengapa krisis
multi-dimensional di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998 terjadi
berkepanjangan dan tak kunjung bisa ditanggulangi. Tidak berlebihan jika
seorang pakar mengatakan bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah (the root
of evils) di Indonesia. Dari perspektif administrasi publik, penyebab korupsi
adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik. Selain itu tidak diikutkannya
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dalam birokrasi membuat
akuntabiltas birokrasi sulit diwujudkan.
Syed Hussein Alatas seorang ahli
sosiologi korupsi memaparkan 7 tipologi korupsi, yang dalam derajat
tertentu dapat mengidentifikasi fenomena korupsi dalam kebijakan publik.
Ketujuh tipologi korupsi itu adalah sebagai berikut :
1.
Transaktif (
korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang
memberi dan menerima keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif
menjalankan perbuatan tersebut )
2.
Eksortif (
korupsi yang menyatakan bentuk-bentuk koersi tertentu, dimana pihak-pihak
pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam diri,
kepentingan, orang-orang, atau hal-hal yang dihargainya )
3.
Investif (
korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa, tanpa adanya
pertalian langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan
yang diharapkan akan diperoleh di masa mendatang )
4.
Nepotistik (korupsi
berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang mempunyai
kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik )
5.
Autogenik (
korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui
seorang diri )
6.
Suportif (
korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi
atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi )
7.
Defensif (
korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka memepertahankan diri dari
pemerasan )
Mencegah korupsi dan kolusi tidaklah
begitu sulit, kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum
(kepentingan rakyat banyak) diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebab
betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat korup tetap ada dihati yang
memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan
terus terjadi. Sebab faktor mental yang menentukan. Selain itu, hendaklah
dipahami juga tanggung jawab atas perbuatan terkutuk ini (apabila dilakukan
dengan cara kolusi) tidak hanya terletak pada mental pejabat saja, tetapi juga
terletak pada mental pengusaha tertentu yang berkolusi yang selalu ingin
menggoda oknum pejabat untuk mendapatkan fasilitas dan keuntungan
sebesar-besarnya. Walaupun pejabat ingin melakukan korupsi, kalau tidak
disambut oleh oknum pengusaha berupa pemberian suap atau janji memberi imbalan,
korupsi tidak akan separah ini. Suap sungguh sangat berbahaya, karena si
penerima suap tidak akan tanggung-tanggung dalam menyalahgunakan kewenangannya,
sehingga kekayaan dan aset negara dipreteli dalam jumlah milyaran atau
trilyunan rupiah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan publik
dipahami sebagai serangkaian proses yang bergerak dari satu bagian ke bagian ke
bagian lainnya secara berkesinambungan dan memiliki ketergantungan satu sama
lain. Proses itu berada di dalam suatu sistem politik yang dimulai dari
identifikasi, agenda setting, formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Mengenai proses kebijakan ini, Easton menganalogikan sistem politik
sebagai sistem biologi yang di dalamnya berlangsung interaksi antara organisme
dengan lingkungannya. Kebijakan publik merupakan output dari sistem politik,
dimana sistem politik itu terdiri dari input, throughput,
dan output. Input dari sistem politik berasal dari lingkungan (masyarakat)
dapat berupa tuntutan maupun dukungan. Selanjutnya input tersebut
mengalami penggodokan dalam proses formulasi hingga siap diimplementasikan dalam
bentuk output, yaitu kebijakan publik.
B. SARAN
Sudah saatnya pemerintah mengubah
mainset dalam memformulasikan kebijakan publik. Jika
sebelumnya mainset yang digunakan oleh pemerintah dalam merumuskan
kebijakan adalah bersifat problem oriented, sehingga cenderung berfokus
pada prosedur dan aturan untuk memecahkan masalah, yang berdampak pada
birokrasi pita merah (red tape). Maka untuk saat ini dan di masa
mendatang, mainset yang digunakan dalam memformulasikan kebijakan harus
bersifat goal oriented. Sehingga kebijakan yang dirumuskan tidak membuat
masyarakat terjebak pada aturan dan prosedur yang rumit, namun yang terpenting
adalah bagaimana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, tanpa terlepas
dari nilai-nilai fundamental sebagai landasan untuk berfikir dan bertindak.
DAFTAR
PUSTAKA
Nugroho,
Riant. 2008. Public Policy. Jakarta:
PT. Gramedia. Halaman 356
Drs.H.Abdul
Kahar Badjuri dan Drs.Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. Kebijakan Publik Konsep dan Strategi. Kingdong 199. Hal 33.
James
P. Lester dan Joseph Stewart (2000). Public
Policy: An Evolutionary Approach. Second Edition. Australia: Wadsworth.
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2167357-proses-kebijakan-publik/