Kamis, 10 Januari 2013

ANALISIS PELIMPAHAN KEWENANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) KE DAERAH (TINJAUAN EKONOMI)


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini tentunya membahas bagaimana konsep perpajakan di Indonesia dalam membangun perekonomian daerah. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah disahkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi daerah. Dengan diundangkannya Undang-Undang tersebut maka daerah sepenuhnya diberikan legalitas dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya masing-masing. Terkait dengan sistem pajak di Indonesia dalam hal ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami perubahan mendasar, yakni adanya pelimpahan kewenangan ke daerah dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menyusun  sebuah bentuk riset data terhadap perihal tersebut.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Walaupun kami tahu bahwa dalam malakah ini masih banyak kekurangan dalam hal materi, teknik  penulisan, sampai kepada format malakahnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan representasif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pembacanya. Olehnya itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi pembuatan makalah selanjutnya.


Makassar, Desember 2012


Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATARBELAKANG
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasar kan UU No. 12 Tah un 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan  adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan ke pada daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing). Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur dalam pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.
Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi Otonomi Daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan  kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan PBB sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan  pemerintahan daerah. Untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai sumber sendiri, sehingga tidak perlu selalu tergantung pada sumber-sumber dari Pemerintah Pusat.
Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat, dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah.


Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan  serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi  korupsi akibat berpindahnya lokus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Sedang pada tingkatan pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.
Dari perkembangan antara pro dan kontra atas kedua UU tersebut, berkembang pemikiran untuk menjadikan PBB sebagai pajak daerah. Di Indonesia, salah satu kebijakan pajak dari pemerintah pusat yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap APBD yaitu PBB. Oleh karena itu dalam merumuskan kebijakan PBB, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah senantiasa melakukannya dengan penuh kehati-hatian karena PBB terkait dengan berbagai aspek lainnya yang sangat sensitif baik secara ekonomi maupun secara politik. PBB jika dirancang baik-baik dapat menjadi sumber penerimaan yang besar, stabil, dan elastis. Kadar elastisitas tergantung pada sampai seberapa jauh tanah bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dapat dinilai menurut harga pasar yang berlaku. PBB dapat juga memperkuat peranan pemerintah daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi penerimaan pemerintah sendiri. PBB yang efektif akan menciptakan  sumber penerimaan yang kuat bagi pemerintah daerah dan memperkecil kebutuhan akan bantuan dari Pemerintah Pusat.
Walaupun kontribusi PBB tidaklah terlalu besar dalam struktur penerimaan negara, tetapi sangat berarti dan tidak mungkin dihilangkan. Seperti diungkapkan oleh Santoso Brot odihardjo, bahwa betapapun kecilnya jumlah uang yang akan dapat masuk kedalam kas negara, uang itu selalu akan dapat dipergunakan sebagai sumbangan untuk menutupi biaya-biaya pemerintahannya. Namun demikian, PBB termasuk jenis pajak yang sulit dalam pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah karena jumlah obyek pajaknya yang  cukup banyak. Akan tetapi bukan kebetulan apabila wacana Untuk menjadikan PBB sebagai pajak daerah muncul ke permukaan sebagai bagian dari desentralisasi fiskal bersamaan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008  Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.


Dalam bidang perpajakan sendiri, PBB terkait dengan beberapa pajak lainnya. NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)  yang merupakan salah satu produk dari PBB telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB juga menjadi  dasar perhitungan PPh final atas penjualan properti, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas hak yang telah diterima  oleh pembeli. Bahkan masyarakat dan institusi tertentu juga menggunakan NJOP sebagai dasar dalam penghitungan kegiatan kredit perbankan, gadai, tukar guling (ruislag), ganti rugi, penilaian aset swasta dan pemerintah, dan kegiatan lainnya.
Pada masa mendatang PBB tidak hanya memfokuskan pada peningkatan penerimaan tetapi mempunyai banyak fungsi lainnya (multipurpose). Pemanfaatan data PBB berbasis teknologi Informasi yang komprehensif yang terintregasi mulai dari SISMIOP (Sistim Informasi Manajemen Obyek Pajak) yang kemudian dikembangkan ke arah Bank Data Nasional melalui program SIG PBB (Sistim Informasi Geografis PBB) yaitu dengan mempetakan secara  digital semua obyek pajak PBB dan kemudian m-link kan semua data PBB yang telah mencakup ± 84 juta obyek pajak dan ± 75 juta wajib pajak dalam program SIN (Single Identification Number), yaitu program pengisian peta tersebut dengan data dari subyek pajak yang berkaitan dengan semua nomor identitas dari subyek pajak seperti KTP, SIM, STNK, NPWP, tagihan air, listrik, dan telepon dan lain sebagainya bahkan sampai ke nomor rekening Bank dari subyek pajak. Sehingga nantinya memungkinkan semua instansi yang terkait seperti Kantor Pelayanan Pajak, Badan Pertanahan Nasional, Perbankan, Dinas Kependudukan, Imigrasi, bahkan Kepolisian dapat menggunakan dan mengaksesnya melalui Bank Data SIN PBB.
Demikianlah bahwa eksistensi PBB tidak hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga strategis dan signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan dan kehidupan masyarakat. Seperti diketahui hampir semua kegiatan manusia berlangsung di atas bumi dan terkait dengan persoalan bumi dan bangunan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan hal tersebut sangat sensitif bagi masyarakat. Dan sampai saat ini pengelolaan PBB di Indonesia masih  menggunakan sistem terpusat karena berbagai pertimbangan yang telah memenuhi tujuan pokok dari perpajakan nasional dan prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional.
B.     RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan hal-hal yang di uraikan diatas, maka dipandang perlu pengkajian yang menyangkut kebijakan pembiayaan keuangan daerah yang efektif guna yang mendukung program otonomi  daerah. Kajian yang mendalam, komprehensif dan objektif diperlukan karena kondisi masing-masing daerah yang berbeda sehingga tingkat perekonomian daerah juga berbeda. Hal inilah yang mendasari penulis untuk merumuskan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu menganalisis pro dan kontra terhadap kebijakan pelimpahan kewenangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam persfektif ekonomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     OTONOMI DAERAH DAN ASAS DESENTRALISASI
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.
1)    Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan.
2)    Asas dekonsentrasi, yaitu yang pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.
3)    Asas Pembantuan, berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi pijakan munculnya otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang. Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan:
·         Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;
·         Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien; 
·         Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
·         Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

B.     HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
ü  Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
ü  Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang KUP, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ü  Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang".
ü  Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

1.      Jenis Pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
a.    Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
Ø  Pajak Penghasilan, diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Ø  Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
Ø  Bea Materai, diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
b.    Pajak Daerah, Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
1)    Pajak Provinsi terdiri dari:
Ø  Pajak Kendaraan Bermotor;
Ø  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Ø  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
Ø  Pajak Air Permukaan; dan
Ø  Pajak Rokok.
2)    Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
Ø  Pajak Hotel;
Ø  Pajak Restoran;
Ø  Pajak Hiburan;
Ø  Pajak Reklame;
Ø  Pajak Penerangan Jalan;
Ø  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Ø  Pajak Parkir;
Ø  Pajak Air Tanah;
Ø  Pajak Sarang Burung Walet;
Ø  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
Ø  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.      Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Nyata bahwa pajak-pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a)    Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
b)    Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c)    Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

d)    Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
3.      Mekanisme Pemungutan Pajak
Pajak yang dibebankan kepada masyarakat sekarang ini cukup besar jumlahnya dibandingkan hasil dari pemungutan pajak yang penggunaannya tidak efisien sama sekali dengan berbagai keterpurukan dibidang ekonomi maupun sosial masyarakat. Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
a)    Teori Asuransi
Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
b)    Teori kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak..
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah :
a)    Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
b)    Asas sumber, negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu.
c)    Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle), dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.

C.     PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Beberapa landasan pemikiran yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) adalah sebagai berikut :
1)    Adanya peraturan pajak atas tanah yang tumpah tindih.
Beberapa peraturan yang dilaksanakan untuk instansi pusat maupun daerah seperti :
a.    Ordonansi Pajak Rumah Tangga
b.    Ordonansi Verponding Indonesia 1923
c.    Ordonansi Verponding 1928
d.    Ordonansi Pajak Kekayaan 1932
e.    Ordonansi Pajak Jalan 1942

2)    Amanat dalam Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)
Mengisyaratkan bahwa diperlukan adanya pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, karena semakin meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri akan semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.
3)    Manfaat Bumi dan Bangunan
Bumi dan Bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara berupa pembayaran pajak. Dengan adanya beberapa pemikiran diatas, maka wajar apabila peraturan atau ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan diganti dengan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
v  Subyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
a.    mempunyai suatu hak atas bumi, dan / atau;
b.    memperoleh manfaat atas bumi, dan / atau;
c.    memiliki, menguasai atas bangunan, dan / atau;
d.    memperoleh manfaat atas bangunan.
Subyek pajak sebagaimana dimaksud diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang
v  Obyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Obyek PBB adalah “Bumi dan/ atau bangunan”:
a.    Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, Contoh: sawah, ladang, kebun, tambang, dll.
b.    Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ atau perairan di wilayah Republik Indonesia, Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung anjungan minyak lepas pantai, dll

v  Obyek Pajak PBB yang dikecualikan
Obyek yang dikecualikan adalah :
a.    Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
b.    Digunakan untuk kuburan,
c.    Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
d.    Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
e.    Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.



BAB II
PEMBAHASAN
Perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya UU PDRD, PBB P2 merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat namun demikian hasilnya seluruhnya diberikan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian tentunya pemerintah daerah mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap pajak ini. Pola tax sharing seperti ini memang dahulu sangat diperlukan terutama sebagai salah satu sumber penyeimbang pendapatan daerah, sesuai dengan salah satu fungsi pajak itu sendiri yaitu sebagai pengatur (reguleren). Namun seiring dengan berkembangnya rezim otonomi daerah dimana daerah diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola sumber-sumber pendapatannya maka pola bagi hasil tersebut menurut pengagas UU PDRD ini sudah tidak relevan lagi.
Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2 diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan kebutuhan daerah yang selalu meningkat setiap tahunnya yang selama ini masih sebagian besar dibiayai dari dana transfer DAU dan DAK dari pemerintah pusat dianggap kurang mencerminkan bentuk kemandirian daerah. Hal ini  pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Jika sebagian besar pembiayaan kebutuhan daerah diperoleh dari DAU dan DAK, maka otomatis peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahannya dianggap menjadi kurang dewasa. Diharapkan bila PAD dari sektor pajak semakin meningkat maka tentunya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut akan semakin tinggi, dan kesadaran untuk membayar pajak daerah serta retribusi daerah atas pelayanan publik yang langsung akan mereka nikmati juga akan makin tinggi.
Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap pembebanan tertentu kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Argumen lainnya yang dilontarkan sehubungan dengan proses pengalihan ini adalah bahwa objek pajak properti lebih bersifat immobile, dalam arti tidak dapat dipindahkan ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak daerah.
Gambar 1. Skema pengalihan seluruh kewenangan pemungutan PBB P2
Sebenarnya jika dilihat dari proses pemungutannya sejak dulu pemerintah daerah telah terlibat aktif terutama dalam hal penyampaian SPPT PBB P2 kepada wajib pajak dan pelaksanaan penagihan yang dilakukan secara bersama-sama dengan dibentuknya tim intensifikasi penagihan PBB P2. Namun demikian peran daerah tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan secara otomatis bahwa daerah mampu mengelola pajak ini dengan baik seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Masih perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti masalah teknis administratif, SDM, struktur organisasi, teknologi informasi dan hal-hal lainnya. Demikian juga masalah bagaimana menjaga kesinambungan penerimaan negara (fiscal sustainability) dan beban pajak masyarakat. Untuk itu perlu perhatian dan persiapan serius bagi pemda yang nantinya akan mengelola PBB P2. Masyarakat sangat berharap jangan sampai upaya pendaerahan PBB  P2 itu justru menjadi tidak produktif dan akan semakin menambah beban masyarakat dan pemda itu sendiri.
Jika ditinjau dari sisi pengalihan penerimaan sebenarnya tidak semua daerah akan menikmati pertumbuhan PAD dari PBB P2. Dari hasil analisa perhitungan perubahan penerimaan PBB P2 akibat dari berlakunya UU 28 tahun 2009, hanya akan dinikmati oleh kota-kota besar saja yang dalam waktu dekat akan mengalami penambahan penerimaan dari proses devolusi ini. Perhatikan skema pembagian penerimaan PBB P2 sebelum UU PDRD berlaku.

Gambar 2. Skema bagi hasil PBB P2 menurut UU PBB
Menurut UU PBB, pemerintah Kabupaten/Kota akan menerima penerimaan PBB P2 sebesar 64,8% ditambah :
1)     Bagi rata penerimaan (6,5% dibagi seluruh jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia),
2)     Insentif bagi pemda Kabupaten/Kota yang capaian realisasi penerimaannya 100% (3,5% dibagi menurut proporsi capaian penerimaan),
3)     Sebagian dari biaya pemungutan.
Tambahan dari ke tiga item di atas itu saja ditahun 2010 paling tidak akan mencapai 2,5-3 miliar setahun. Dengan berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil di atas menjadi tidak berlaku lagi. Pemda Kabupaten/Kota akan murni menerima seluruh penerimaan PBB P2 untuk setiap tanah dan atau bangunan yang hanya berada di lokasinya saja menjadi PAD tanpa perlu dibagi lagi ke daerah lain dan Propinsi. Dengan demikian terbuka peluang tambahan penerimaan dari PBB P2 sebesar 35,2%. Apakah semua daerah akan merasakan hal yang sama ? Mari kita kaji lebih jauh.
Dari hasil simulasi menggunakan data realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010 berdasarkan skema bagi hasil pada gambar 2, kemudian dibandingkan dengan realisasi penerimaan PBB P2 setelah penerapan UU PDRD untuk studi kasus Provinsi Sumbar dan Jambi menghasilkan pola perubahan yang berbeda.





Tabel 1. Simulasi realisasi penerimaan PBB P2 berdasarkan UU PBB dan UU PDRD
Sumber: Data diolah dari realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010
Untuk Provinsi Sumbar dengan diberlakukannya UU PDRD dalam jangka pendek kemungkinan hanya 3 daerah saja yang akan mengalami peningkatan penerimaan PBB P2, sedangkan 16 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami penurunan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Sumbar akan mengalami penurunan sekitar 5,03%. Kemudian untuk Provinsi Jambi dari hasil simulasi diperoleh hasil yang bertolak belakang. Dalam jangka pendek hanya 3 daerah saja yang akan mengalami penurunan penerimaan PBB P2, sedangkan 8 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami peningkatan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Jambi akan mengalami peningkatan sekitar 0,86% atau tidak jauh berbeda ketika penerapan UU PBB sebelumnya.
Mengapa dikedua provinsi ini mengalami perbedaan pola penerimaan yang cukup signifikan sehubungan dengan penerapan UU PDRD ? Jika dilihat dari kondisi wilayah, untuk provinsi Sumbar sebagian besar daerahnya masing sangat mengandalkan penerimaan PBB P2 dari bagi rata 6,5% dan insentif 3,5%. Artinya terjadi ketimpangan yang sangat besar antara realisasi penerimaan murni dan tambahan bagi hasil dari daerah lain. Akibatnya ketika penerapan UU PDRD seluruh bagi rata yang selama ini diperoleh dari bagian daerah lain sebesar 2,5-3 miliar setahun akan hilang.
Kondisi berbeda terjadi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi ternyata selama ini merupakan salah satu provinsi yang menyalurkan sebagian penerimaan PBB P2 ke daerah lain. Sehingga ketika penerapan UU PDRD, untuk sebagian besar Kabupaten/Kota di provinsi ini justru dalam jangka pendek sudah dapat menikmati peningkatan penerimaan PBB P2. Hal ini juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor properti di kedua provinsi tersebut yang cukup mencolok.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah biaya pengelolaan PBB P2 (collection cost). Biaya pengelolaan yang selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan berlakunya UU PDRD maka pemerintah daerah secara otomatis akan menanggungnya. Artinya dimungkinkan ada daerah yang biaya pengelolaannya nanti akan lebih besar dibandingkan dengan hasil pemungutannya.
A.     Mekanisme Penetapan PBB
PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak. Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai..

Gambar 3. Formula perhitungan ketetapan PBB menurut UU PDRD
Untuk menyusun ketetapan PBB P2 ada 3 variabel inti yang perlu dipersiapkan baik oleh pemerintah daerah sendiri maupun bersama-sama dengan DPRD. Ketiga variabel tersebut antara lain :
a.    Tarif pajak ditetapkan dengan Perda sebesar maksimal 0.3%,
b.    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) à NJOPTKP ditetapkan dengan Perda sebesar paling rendah 10 juta rupiah,
c.    Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) à NJOP diatur melalui peraturan Bupati/ Walikota.
Perhitungan ketetapan PBB P2 dalam UU PDRD ini sedikit berbeda dibandingkan dengan UU PBB lalu. Perbedaan terlihat terutama pada penerapan tarif (maksimal 0.3%) dan NJOPTKP (minimal 10 juta rupiah). Tarif efektif yang dulu berlaku ada 2 yaitu 0.1% untuk objek pajak yang NJOP-nya lebih kecil dari 1 miliar rupiah dan 0.2% apabila NJOP-nya lebih besar atau sama dengan 1 miliar rupiah.
Pemda perlu hati-hati dalam menentukan tarif ini karena setiap daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan besaran tarif tersebut, sehingga kedepan kemungkinan besar akan ditemui variasi tarif PBB P2 antar daerah. Diperlukan kajian yang sangat mendalam untuk menentukan berapa besar tarif PBB P2 yang akan diterapkan agar pokok ketetapan PBB P2 yang dimiliki selama ini tidak mengalami penurunan dan masyarakat tidak bergejolak setelah ketetapan PBB P2 diluncurkan. Untuk menetapkan kedua variabel ini tentunya pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa bekerja sendiri, perlu membicarakannya dengan DPRD sebagai pihak legislator yang kemudian dituangkan dalam bentuk Perda.
Variabel yang bisa langsung dikontrol sendiri oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah dalam hal menetapkan besarnya NJOP tanah dan bangunan. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah suatu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. NJOP ini ditetapkan sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 terhadap suatu objek bumi dan atau bangunan.  Apabila tidak diperoleh harga transaksi jual beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. Yang dimaksud dengan :
·         Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya,
·         Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
·         Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak  tersebut.
Selama ini penentuan besarnya NJOP dan klasifikasinya sebagai dasar pengenaan PBB diatur melalui Peraturan (Keputusan) Menteri Keuangan, dan yang berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998. Namun karena ketentuan ini sudah sangat lama, dan sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengenaan PBB, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan ketentuan ini Klasifikasi NJOP Bumi sektor P2 dibagi menjadi 100 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 68.545.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 100 dengan NJOP sebesar Rp 140/m2. Sedangkan Klasifikasi NJOP Bangunan sektor P2 menurut ketentuan ini dibagi menjadi 40 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 15.250.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 40 dengan NJOP sebesar Rp 50.000/m2. Tentunya setelah menjadi pajak daerah apabila masih menginginkan metode perhitungan NJOP yang sama, ketentuan klasifikasi NJOP ini menjadi tidak berlaku lagi dan pemda perlu melakukan replikasi aturan tersebut kedalam peraturan Bupati/Walikotanya.
Sebelum dinilai dan ditentukan NJOP-nya, setiap objek berupa tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh subjek pajak perlu didata terlebih dahulu. Proses pendataan berupa pengumpulan data yang berkenaan dengan objek dan subjek pajak dimaksud dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (LSPOP). Proses pendataan ini dapat dilakukan secara langsung oleh fiskus atau pun wajib pajak yang datang sendiri dan melaporkannya ke kantor pajak setempat.
B.     Mekanisme Pemungutan PBB
Tahap selanjutnya setelah pemda kabupaten/kota menghitung besaran PBB P2 yang nantinya akan tertuang dalam SPPT, langkah selanjutnya adalah melakukan proses penetapan SPPT. Tentunya karena jumlah objek pajak yang dikelola sangat banyak untuk provinsi Sumbar saja sekitar 2 juta SPPT dan provinsi Jambi sekitar 910 ribu SPPT, maka tidak mungkin dikerjakan secara manual. Untuk itu perlu dikelola dengan menggunakan sebuah sistem manajemen teknologi informasi. Teknologi informasi yang telah dipakai selama ini disebut dengan sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP). Setelah seluruh SPPT tercetak, tahap selanjutnya adalah melakukan distribusi SPPT ke seluruh wajib pajak melalui channel Kecamatan, Kelurahan dan RT/RW.
Proses selanjutnya adalah mengadministrasikan pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Saluran pembayaran PBB P2 selama ini dapat dilakukan melalui bank-bank tempat pembayaran yang ditunjuk atau dapat pula melalui sistem jaringan ATM dan internet banking. Tentunya sistem pembayaran yang sudah berjalan selama ini tidak akan dapat berfungsi lagi bila pemda Kabupaten/Kota tidak membuat kerjasama baru, karena per tanggal 31 Desember jam 17.00 WIB sebelum tahun pengalihan seluruh rekening penampungan penerimaan dan kerjasama bank akan secara otomatis dihentikan.

Dalam jangka waktu tersebut wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan beberapa jenis pelayanan sehubungan dengan SPPT yang telah diterbitkan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa keberatan atas SPPT, pengurangan atas ketetapan karena ketidakmampuan bayar, pembetulan data, pembatalan SPPT, mutasi SPPT, penerbitan baru dan lain-lain.
Apabila jatuh tempo 6 bulan setelah SPPT diterima terlampaui dan wajib pajak belum melakukan pembayaran PBB P2, maka langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah melakukan proses penagihan aktif (law enforcement). Tentunya ada beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum sampai pada proses penagihan secara aktif oleh fiskus.


















BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Pajak Bumi dan Bangunan daerah perdesaan dan perkotaan dapat memberikan pemasukan bagi daerah untuk menabah kas keuangan daerah maupun kas Negara sendiri, pajak dapat juga digunakan untuk pembangunan daerah, disegala bidang, baik dibidang kesehatan masyarakat,pendidikan, maupun dalam penyelenggaran kerja pemerintah daerah. Begitu banyak penyalahgunaan fungsi pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Pembahasan diatas dapat menjelaskan secara ringkas objek pajak,wajib pajak, penyelesaian kasus perpajakan. Bagaimana cara menghitung BPHTB serta kesiapan setiap pemkot dalam menangani urusan pajak, yang harus sesuai dengan peraturan. Pemkot juga memiliki tantangan yaitu pegawai pemkot harus memiliki wawasan dalam perpajakan dan dalam memberikan pelayanan bagi wajib pajak. Bagaimanapun juga, langkah terbaik yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan baru ini adalah segera membenahi dan melengkapi segala kekurangan yang ada. Seyogyanya, segala hambatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan menjadi peluang.
B.     SARAN
Pajak diharapkan langsung dapat disalurkan kepada masyarakat, tanpa harus melalui pemerintah pusat, sebab dengan melihat prosedur penyaluran pajak di Negara kita yang korup ini dapat memberikan kesempatan bagi pihak-pihak tertentu untuk untuk melakukan penyalahgunaan, baik karena ada kesempatan maupun karena pengetahuan masyarakat kurang terhadap pajak sehingga, masalah urusan pajak masyarakat hanya bisa percaya kepada pemerintah saja.









DAFTAR PUSTAKA
Darwin. 2012. Pendaerahan PBB. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/ok-pbb/1082-pendaerahan-pbb
Feberti Zaluku, Maria Patriot. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan.
Juliarini, Aniek. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/yogyakarta/index.php?option=com_content&view=article&id=329:pajak-bumi-dan-bangunan-pedesaan-dan-perkotaan-makalah&catid=3:berita&Itemid=11
Priandana, Hernanda Bagus. 2009. Keberadaan Pajak Bui dan Bangunan Sebagai Pajak Pusat Dalam Era Otonomi Daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar