KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini tentunya membahas bagaimana
konsep perpajakan di Indonesia dalam membangun perekonomian daerah. Hal
tersebut terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah disahkan oleh
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi daerah. Dengan
diundangkannya Undang-Undang tersebut maka daerah sepenuhnya diberikan
legalitas dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya
masing-masing. Terkait dengan sistem pajak di Indonesia dalam hal ini adalah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami perubahan mendasar, yakni adanya
pelimpahan kewenangan ke daerah dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal
inilah yang mendasari penulis untuk menyusun
sebuah bentuk riset data terhadap perihal tersebut.
Penyusun mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat
digunakan sebagaimana mestinya. Walaupun kami tahu bahwa dalam malakah ini
masih banyak kekurangan dalam hal materi, teknik penulisan, sampai kepada format malakahnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah
satu bahan representasif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pembacanya.
Olehnya itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi pembuatan makalah selanjutnya.
Makassar, Desember 2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasar kan UU
No. 12 Tah un 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan
mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian
besar hasilnya diserahkan ke pada daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang
penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan
(revenue sharing). Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur dalam pasal 18 UU
No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16
Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu
untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk
Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.
Banyak hal yang justru sudah
menggejala pada awal implementasi Otonomi Daerah, seperti tarik menarik
kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan
profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan PBB sebagai
Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting
dalam setiap kebijaksanaan pemerintahan
daerah. Untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus
mempunyai sumber sendiri, sehingga tidak perlu selalu tergantung pada
sumber-sumber dari Pemerintah Pusat.
Otonomi daerah pada awalnya dianggap
sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan
sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti
selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya
manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat, dan partisipasi masyarakat.
Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah
pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama
bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada
Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada
tingkat yang rendah.
Kompleksitas persoalan otonomi daerah
di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau
terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki
kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan
daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan
responsibilitas pengelolaan keuangan
serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap
sen uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah.
Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai
desentralisasi korupsi akibat berpindahnya
lokus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Sedang pada tingkatan
pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat
tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.
Dari perkembangan antara pro dan
kontra atas kedua UU tersebut, berkembang pemikiran untuk menjadikan PBB
sebagai pajak daerah. Di Indonesia, salah satu kebijakan pajak dari pemerintah
pusat yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap APBD yaitu PBB. Oleh
karena itu dalam merumuskan kebijakan PBB, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah senantiasa melakukannya dengan penuh kehati-hatian karena PBB terkait
dengan berbagai aspek lainnya yang sangat sensitif baik secara ekonomi maupun
secara politik. PBB jika dirancang baik-baik dapat menjadi sumber penerimaan
yang besar, stabil, dan elastis. Kadar elastisitas tergantung pada sampai
seberapa jauh tanah bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dapat
dinilai menurut harga pasar yang berlaku. PBB dapat juga memperkuat peranan pemerintah
daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi penerimaan
pemerintah sendiri. PBB yang efektif akan menciptakan sumber penerimaan yang kuat bagi pemerintah
daerah dan memperkecil kebutuhan akan bantuan dari Pemerintah Pusat.
Walaupun kontribusi PBB tidaklah
terlalu besar dalam struktur penerimaan negara, tetapi sangat berarti dan tidak
mungkin dihilangkan. Seperti diungkapkan oleh Santoso Brot odihardjo, bahwa
betapapun kecilnya jumlah uang yang akan dapat masuk kedalam kas negara, uang
itu selalu akan dapat dipergunakan sebagai sumbangan untuk menutupi biaya-biaya
pemerintahannya. Namun demikian, PBB termasuk jenis pajak yang sulit dalam
pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah karena
jumlah obyek pajaknya yang cukup banyak.
Akan tetapi bukan kebetulan apabila wacana Untuk menjadikan PBB sebagai pajak
daerah muncul ke permukaan sebagai bagian dari desentralisasi fiskal bersamaan
dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Dalam bidang perpajakan sendiri, PBB
terkait dengan beberapa pajak lainnya. NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) yang merupakan salah satu produk dari PBB
telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
juga menjadi dasar perhitungan PPh final
atas penjualan properti, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
atas hak yang telah diterima oleh
pembeli. Bahkan masyarakat dan institusi tertentu juga menggunakan NJOP sebagai
dasar dalam penghitungan kegiatan kredit perbankan, gadai, tukar guling
(ruislag), ganti rugi, penilaian aset swasta dan pemerintah, dan kegiatan
lainnya.
Pada masa mendatang PBB tidak hanya
memfokuskan pada peningkatan penerimaan tetapi mempunyai banyak fungsi lainnya (multipurpose).
Pemanfaatan data PBB berbasis teknologi Informasi yang komprehensif yang
terintregasi mulai dari SISMIOP (Sistim Informasi Manajemen Obyek Pajak) yang
kemudian dikembangkan ke arah Bank Data Nasional melalui program SIG PBB
(Sistim Informasi Geografis PBB) yaitu dengan mempetakan secara digital semua obyek pajak PBB dan kemudian
m-link kan semua data PBB yang telah mencakup ± 84 juta obyek pajak dan ± 75 juta
wajib pajak dalam program SIN (Single Identification Number), yaitu program
pengisian peta tersebut dengan data dari subyek pajak yang berkaitan dengan
semua nomor identitas dari subyek pajak seperti KTP, SIM, STNK, NPWP, tagihan
air, listrik, dan telepon dan lain sebagainya bahkan sampai ke nomor rekening
Bank dari subyek pajak. Sehingga nantinya memungkinkan semua instansi yang
terkait seperti Kantor Pelayanan Pajak, Badan Pertanahan Nasional, Perbankan,
Dinas Kependudukan, Imigrasi, bahkan Kepolisian dapat menggunakan dan mengaksesnya
melalui Bank Data SIN PBB.
Demikianlah bahwa eksistensi PBB tidak
hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga strategis dan
signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan dan kehidupan
masyarakat. Seperti diketahui hampir semua kegiatan manusia berlangsung di atas
bumi dan terkait dengan persoalan bumi dan bangunan. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang berkenaan dengan hal tersebut sangat sensitif bagi masyarakat. Dan
sampai saat ini pengelolaan PBB di Indonesia masih menggunakan sistem terpusat karena berbagai
pertimbangan yang telah memenuhi tujuan pokok dari perpajakan nasional dan
prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional.
B. RUMUSAN
MASALAH
Sehubungan dengan hal-hal yang di
uraikan diatas, maka dipandang perlu pengkajian yang menyangkut kebijakan
pembiayaan keuangan daerah yang efektif guna yang mendukung program
otonomi daerah. Kajian yang mendalam, komprehensif
dan objektif diperlukan karena kondisi masing-masing daerah yang berbeda
sehingga tingkat perekonomian daerah juga berbeda. Hal inilah yang mendasari
penulis untuk merumuskan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu
menganalisis pro dan kontra terhadap kebijakan pelimpahan kewenangan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dalam persfektif ekonomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. OTONOMI
DAERAH DAN ASAS DESENTRALISASI
Istilah otonomi mempunyai arti
kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi
itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan
harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu sebagai organ
daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan
antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas,
yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.
1) Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang
urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya
baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan.
2) Asas dekonsentrasi, yaitu yang
pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan,
perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan
aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.
3) Asas Pembantuan, berarti keikutsertaan
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu,
dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan
untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.
Desentralisasi memiliki berbagai macam
tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel
penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
(yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency
model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model).
Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan
desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah
pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Desentralisasi merupakan penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi
pijakan munculnya otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi adalah asas
penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi.
Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya
pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang
merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Desentralisasi
dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada
daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari
lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah
otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah
(local ordinace), bukan undang-undang. Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari
pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan:
·
Satuan-satuan
desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi
dengan cepat;
·
Satuan-satuan
desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan
efesien;
·
Satuan-satuan
desentralisasi lebih inovatif;
·
Satuan-satuan
desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih
tinggi dan lebih produktif.
B. HUKUM
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Lembaga Pemerintah yang mengelola
perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang
merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap
pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari
sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak
adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang
unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
ü Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas
jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum
untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum.
ü Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
KUP, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan Negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ü Pajak dipungut berdasarkan
undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang
menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dalam undang-undang".
ü Pemungutan pajak diperuntukkan bagi
keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
1. Jenis
Pajak
Di
tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
Ø
Pajak
Penghasilan, diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang
diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Ø
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur dalam UU No. 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
Ø
Bea
Materai, diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
b. Pajak Daerah, Sesuai UU 28/2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
1)
Pajak
Provinsi terdiri dari:
Ø
Pajak
Kendaraan Bermotor;
Ø
Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Ø
Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
Ø
Pajak
Air Permukaan; dan
Ø
Pajak
Rokok.
2)
Jenis
Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
Ø
Pajak
Hotel;
Ø
Pajak
Restoran;
Ø
Pajak
Hiburan;
Ø
Pajak
Reklame;
Ø
Pajak
Penerangan Jalan;
Ø
Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Ø
Pajak
Parkir;
Ø
Pajak
Air Tanah;
Ø
Pajak
Sarang Burung Walet;
Ø
Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
Ø
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Fungsi
Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan
karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Nyata bahwa pajak-pajak mempunyai
tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal
demikian mempunyai fungsi budgeter. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai
beberapa fungsi, yaitu:
a) Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara,
pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini
pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus
ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan
ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
b) Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan
ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam
fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c) Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah
memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas
harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
d) Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara
akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
3. Mekanisme
Pemungutan Pajak
Pajak yang dibebankan kepada
masyarakat sekarang ini cukup besar jumlahnya dibandingkan hasil dari
pemungutan pajak yang penggunaannya tidak efisien sama sekali dengan berbagai
keterpurukan dibidang ekonomi maupun sosial masyarakat. Menurut R. Santoso
Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori
yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
a) Teori Asuransi
Menurut teori ini, negara mempunyai
tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut
diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran
premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara.
Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan
perusahaan asuransi.
b) Teori kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan
pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk
kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat
kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.
Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan
jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan
dari beban pajak..
Terdapat beberapa asas yang dapat
dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan
pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling
sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah :
a) Asas domisili atau disebut juga asas
kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi
tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
b) Asas sumber, negara yang menganut asas
sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan
dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang
bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu.
c) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas
atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle), dalam
asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan
dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.
C. PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah
Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan
Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994. PBB adalah pajak yang bersifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Beberapa landasan pemikiran yang
melatar belakangi lahirnya Undang-Undang PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) adalah
sebagai berikut :
1)
Adanya
peraturan pajak atas tanah yang tumpah tindih.
Beberapa peraturan yang dilaksanakan
untuk instansi pusat maupun daerah seperti :
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga
b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923
c. Ordonansi Verponding 1928
d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932
e. Ordonansi Pajak Jalan 1942
2)
Amanat
dalam Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)
Mengisyaratkan bahwa diperlukan adanya
pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat
untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri,
karena semakin meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri akan
semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.
3)
Manfaat
Bumi dan Bangunan
Bumi
dan Bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan dan atau
kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai
suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, oleh karena itu wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian manfaat atau kenikmatan yang
diperolehnya kepada negara berupa pembayaran pajak. Dengan adanya beberapa
pemikiran diatas, maka wajar apabila peraturan atau ordonansi yang tumpang
tindih harus dicabut dan diganti dengan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
v
Subyek
Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Subyek
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
a.
mempunyai
suatu hak atas bumi, dan / atau;
b.
memperoleh
manfaat atas bumi, dan / atau;
c.
memiliki,
menguasai atas bangunan, dan / atau;
d.
memperoleh
manfaat atas bangunan.
Subyek
pajak sebagaimana dimaksud diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi wajib pajak menurut undang-undang
v
Obyek
Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Obyek
PBB adalah “Bumi dan/ atau bangunan”:
a.
Bumi
: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya,
Contoh: sawah, ladang, kebun, tambang, dll.
b.
Bangunan:
Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/
atau perairan di wilayah Republik Indonesia, Contoh: rumah tempat tinggal,
bangunan tempat usaha, gedung anjungan minyak lepas pantai, dll
v
Obyek
Pajak PBB yang dikecualikan
Obyek
yang dikecualikan adalah :
a.
Digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan
dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan,
seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
b.
Digunakan
untuk kuburan,
c.
Digunakan
sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
d.
Merupakan
hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
e.
Dimiliki
oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi
Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlu diketahui bahwa sebelum
berlakunya UU PDRD, PBB P2 merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan
oleh pemerintah pusat namun demikian hasilnya seluruhnya diberikan kepada
pemerintah daerah. Dengan demikian tentunya pemerintah daerah mempunyai
kepentingan yang sangat besar terhadap pajak ini. Pola tax
sharing seperti ini memang dahulu sangat diperlukan terutama sebagai salah
satu sumber penyeimbang pendapatan daerah, sesuai dengan salah satu fungsi
pajak itu sendiri yaitu sebagai pengatur (reguleren). Namun seiring dengan berkembangnya
rezim otonomi daerah dimana daerah diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola
sumber-sumber pendapatannya maka pola bagi hasil tersebut menurut pengagas UU
PDRD ini sudah tidak relevan lagi.
Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa
penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2
diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan
akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada
kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan kebutuhan daerah yang
selalu meningkat setiap tahunnya yang selama ini masih sebagian besar dibiayai
dari dana transfer DAU dan DAK dari pemerintah pusat dianggap kurang
mencerminkan bentuk kemandirian daerah. Hal ini pada akhirnya tidak
memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Jika
sebagian besar pembiayaan kebutuhan daerah diperoleh dari DAU dan DAK, maka
otomatis peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahannya dianggap
menjadi kurang dewasa. Diharapkan bila PAD dari sektor pajak semakin meningkat
maka tentunya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut akan
semakin tinggi, dan kesadaran untuk membayar pajak daerah serta retribusi
daerah atas pelayanan publik yang langsung akan mereka nikmati juga akan makin
tinggi.
Bersamaan dengan itu pemerintah daerah
akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap
pembebanan tertentu kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Argumen lainnya yang dilontarkan sehubungan dengan proses
pengalihan ini adalah bahwa objek pajak properti lebih
bersifat immobile, dalam arti tidak dapat dipindahkan ke daerah
lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak daerah.
Gambar 1. Skema pengalihan seluruh
kewenangan pemungutan PBB P2
Sebenarnya jika dilihat dari proses
pemungutannya sejak dulu pemerintah daerah telah terlibat aktif terutama dalam
hal penyampaian SPPT PBB P2 kepada wajib pajak dan pelaksanaan penagihan yang
dilakukan secara bersama-sama dengan dibentuknya tim intensifikasi penagihan
PBB P2. Namun demikian peran daerah tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan
secara otomatis bahwa daerah mampu mengelola pajak ini dengan baik seperti yang
selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Masih perlu banyak hal yang harus
dipertimbangkan, seperti masalah teknis administratif, SDM, struktur
organisasi, teknologi informasi dan hal-hal lainnya. Demikian juga masalah
bagaimana menjaga kesinambungan penerimaan negara (fiscal sustainability) dan
beban pajak masyarakat. Untuk itu perlu perhatian dan persiapan serius bagi
pemda yang nantinya akan mengelola PBB P2. Masyarakat sangat berharap jangan
sampai upaya pendaerahan PBB P2 itu justru menjadi tidak produktif dan
akan semakin menambah beban masyarakat dan pemda itu sendiri.
Jika ditinjau dari sisi pengalihan
penerimaan sebenarnya tidak semua daerah akan menikmati pertumbuhan PAD dari
PBB P2. Dari hasil analisa perhitungan perubahan penerimaan PBB P2 akibat dari
berlakunya UU 28 tahun 2009, hanya akan dinikmati oleh kota-kota besar saja
yang dalam waktu dekat akan mengalami penambahan penerimaan dari proses
devolusi ini. Perhatikan skema pembagian penerimaan PBB P2 sebelum UU PDRD
berlaku.
Menurut UU PBB, pemerintah
Kabupaten/Kota akan menerima penerimaan PBB P2 sebesar 64,8% ditambah :
1)
Bagi
rata penerimaan (6,5% dibagi seluruh jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia),
2)
Insentif
bagi pemda Kabupaten/Kota yang capaian realisasi penerimaannya 100% (3,5%
dibagi menurut proporsi capaian penerimaan),
3)
Sebagian
dari biaya pemungutan.
Tambahan dari ke tiga item di atas itu
saja ditahun 2010 paling tidak akan mencapai 2,5-3 miliar setahun. Dengan
berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil di atas menjadi tidak berlaku lagi.
Pemda Kabupaten/Kota akan murni menerima seluruh penerimaan PBB P2 untuk setiap
tanah dan atau bangunan yang hanya berada di lokasinya saja menjadi PAD tanpa
perlu dibagi lagi ke daerah lain dan Propinsi. Dengan demikian terbuka peluang
tambahan penerimaan dari PBB P2 sebesar 35,2%. Apakah semua daerah akan
merasakan hal yang sama ? Mari kita kaji lebih jauh.
Dari hasil simulasi menggunakan data
realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010 berdasarkan skema bagi hasil pada gambar
2, kemudian dibandingkan dengan realisasi penerimaan PBB P2 setelah penerapan
UU PDRD untuk studi kasus Provinsi Sumbar dan Jambi menghasilkan pola perubahan
yang berbeda.
Tabel
1. Simulasi realisasi penerimaan PBB P2 berdasarkan UU PBB dan UU PDRD
Sumber: Data diolah dari realisasi
penerimaan PBB P2 tahun 2010
Untuk Provinsi Sumbar dengan
diberlakukannya UU PDRD dalam jangka pendek kemungkinan hanya 3 daerah saja
yang akan mengalami peningkatan penerimaan PBB P2, sedangkan 16 Kabupaten/Kota
lainnya akan mengalami penurunan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB
P2 untuk Provinsi Sumbar akan mengalami penurunan sekitar 5,03%. Kemudian untuk
Provinsi Jambi dari hasil simulasi diperoleh hasil yang bertolak belakang. Dalam
jangka pendek hanya 3 daerah saja yang akan mengalami penurunan penerimaan PBB
P2, sedangkan 8 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami peningkatan penerimaan.
Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Jambi akan mengalami
peningkatan sekitar 0,86% atau tidak jauh berbeda ketika penerapan UU PBB
sebelumnya.
Mengapa dikedua provinsi ini mengalami
perbedaan pola penerimaan yang cukup signifikan sehubungan dengan penerapan UU
PDRD ? Jika dilihat dari kondisi wilayah, untuk provinsi Sumbar sebagian besar
daerahnya masing sangat mengandalkan penerimaan PBB P2 dari bagi rata 6,5% dan
insentif 3,5%. Artinya terjadi ketimpangan yang sangat besar antara realisasi
penerimaan murni dan tambahan bagi hasil dari daerah lain. Akibatnya ketika
penerapan UU PDRD seluruh bagi rata yang selama ini diperoleh dari bagian
daerah lain sebesar 2,5-3 miliar setahun akan hilang.
Kondisi berbeda terjadi di Provinsi
Jambi. Provinsi Jambi ternyata selama ini merupakan salah satu provinsi yang
menyalurkan sebagian penerimaan PBB P2 ke daerah lain. Sehingga ketika
penerapan UU PDRD, untuk sebagian besar Kabupaten/Kota di provinsi ini justru
dalam jangka pendek sudah dapat menikmati peningkatan penerimaan PBB P2. Hal
ini juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor properti di kedua provinsi
tersebut yang cukup mencolok.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian
adalah masalah biaya pengelolaan PBB P2 (collection cost). Biaya pengelolaan
yang selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan berlakunya
UU PDRD maka pemerintah daerah secara otomatis akan menanggungnya. Artinya
dimungkinkan ada daerah yang biaya pengelolaannya nanti akan lebih besar
dibandingkan dengan hasil pemungutannya.
A.
Mekanisme
Penetapan PBB
PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas
objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih
bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila
tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak.
Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan
kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan
pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih
bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan
terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas
properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai..
Untuk menyusun ketetapan PBB P2 ada 3
variabel inti yang perlu dipersiapkan baik oleh pemerintah daerah sendiri
maupun bersama-sama dengan DPRD. Ketiga variabel tersebut antara lain :
a. Tarif pajak ditetapkan dengan Perda
sebesar maksimal 0.3%,
b. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NJOPTKP) à NJOPTKP ditetapkan dengan Perda sebesar paling rendah 10 juta
rupiah,
c. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) à NJOP
diatur melalui peraturan Bupati/ Walikota.
Perhitungan ketetapan PBB P2 dalam UU
PDRD ini sedikit berbeda dibandingkan dengan UU PBB lalu. Perbedaan terlihat
terutama pada penerapan tarif (maksimal 0.3%) dan NJOPTKP (minimal 10 juta
rupiah). Tarif efektif yang dulu berlaku ada 2 yaitu 0.1% untuk objek pajak
yang NJOP-nya lebih kecil dari 1 miliar rupiah dan 0.2% apabila NJOP-nya lebih
besar atau sama dengan 1 miliar rupiah.
Pemda perlu hati-hati dalam menentukan
tarif ini karena setiap daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan besaran
tarif tersebut, sehingga kedepan kemungkinan besar akan ditemui variasi tarif
PBB P2 antar daerah. Diperlukan kajian yang sangat mendalam untuk menentukan
berapa besar tarif PBB P2 yang akan diterapkan agar pokok ketetapan PBB P2 yang
dimiliki selama ini tidak mengalami penurunan dan masyarakat tidak bergejolak
setelah ketetapan PBB P2 diluncurkan. Untuk menetapkan kedua variabel ini
tentunya pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa bekerja sendiri, perlu
membicarakannya dengan DPRD sebagai pihak legislator yang kemudian dituangkan
dalam bentuk Perda.
Variabel yang bisa langsung dikontrol
sendiri oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah dalam hal menetapkan besarnya
NJOP tanah dan bangunan. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah suatu harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
NJOP ini ditetapkan sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 terhadap suatu objek
bumi dan atau bangunan. Apabila tidak diperoleh harga transaksi jual
beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. Yang dimaksud dengan :
·
Perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak
lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya,
·
Nilai
perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
·
Nilai
jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut.
Selama ini penentuan besarnya NJOP dan
klasifikasinya sebagai dasar pengenaan PBB diatur melalui Peraturan (Keputusan)
Menteri Keuangan, dan yang berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998. Namun karena ketentuan ini sudah sangat lama,
dan sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengenaan PBB,
maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
150/PMK.03/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan
Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan ketentuan ini Klasifikasi
NJOP Bumi sektor P2 dibagi menjadi 100 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu
Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 68.545.000/m2 dan nilai Klas terendah
yaitu Klas 100 dengan NJOP sebesar Rp 140/m2. Sedangkan Klasifikasi NJOP
Bangunan sektor P2 menurut ketentuan ini dibagi menjadi 40 Klas, dengan nilai
Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 15.250.000/m2 dan
nilai Klas terendah yaitu Klas 40 dengan NJOP sebesar Rp 50.000/m2. Tentunya
setelah menjadi pajak daerah apabila masih menginginkan metode perhitungan NJOP
yang sama, ketentuan klasifikasi NJOP ini menjadi tidak berlaku lagi dan pemda
perlu melakukan replikasi aturan tersebut kedalam peraturan Bupati/Walikotanya.
Sebelum dinilai dan ditentukan
NJOP-nya, setiap objek berupa tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai atau
dimanfaatkan oleh subjek pajak perlu didata terlebih dahulu. Proses pendataan
berupa pengumpulan data yang berkenaan dengan objek dan subjek pajak dimaksud
dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPOP) dan Lampiran Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (LSPOP). Proses pendataan ini dapat dilakukan
secara langsung oleh fiskus atau pun wajib pajak yang datang sendiri dan
melaporkannya ke kantor pajak setempat.
B.
Mekanisme
Pemungutan PBB
Tahap selanjutnya setelah pemda
kabupaten/kota menghitung besaran PBB P2 yang nantinya akan tertuang dalam
SPPT, langkah selanjutnya adalah melakukan proses penetapan SPPT. Tentunya
karena jumlah objek pajak yang dikelola sangat banyak untuk provinsi Sumbar
saja sekitar 2 juta SPPT dan provinsi Jambi sekitar 910 ribu SPPT, maka tidak
mungkin dikerjakan secara manual. Untuk itu perlu dikelola dengan menggunakan
sebuah sistem manajemen teknologi informasi. Teknologi informasi yang telah
dipakai selama ini disebut dengan sistem manajemen informasi objek pajak
(SISMIOP). Setelah seluruh SPPT tercetak, tahap selanjutnya adalah melakukan
distribusi SPPT ke seluruh wajib pajak melalui channel Kecamatan,
Kelurahan dan RT/RW.
Proses selanjutnya adalah
mengadministrasikan pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Saluran
pembayaran PBB P2 selama ini dapat dilakukan melalui bank-bank tempat
pembayaran yang ditunjuk atau dapat pula melalui sistem jaringan ATM dan
internet banking. Tentunya sistem pembayaran yang sudah berjalan selama ini
tidak akan dapat berfungsi lagi bila pemda Kabupaten/Kota tidak membuat
kerjasama baru, karena per tanggal 31 Desember jam 17.00 WIB sebelum tahun
pengalihan seluruh rekening penampungan penerimaan dan kerjasama bank akan
secara otomatis dihentikan.
Dalam jangka waktu tersebut wajib
pajak memiliki hak untuk mengajukan beberapa jenis pelayanan sehubungan dengan
SPPT yang telah diterbitkan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa keberatan
atas SPPT, pengurangan atas ketetapan karena ketidakmampuan bayar, pembetulan
data, pembatalan SPPT, mutasi SPPT, penerbitan baru dan lain-lain.
Apabila jatuh tempo 6 bulan setelah
SPPT diterima terlampaui dan wajib pajak belum melakukan pembayaran PBB P2,
maka langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota
adalah melakukan proses penagihan aktif (law enforcement). Tentunya ada
beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum sampai pada proses penagihan
secara aktif oleh fiskus.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pajak Bumi dan Bangunan daerah
perdesaan dan perkotaan dapat memberikan pemasukan bagi daerah untuk menabah
kas keuangan daerah maupun kas Negara sendiri, pajak dapat juga digunakan untuk
pembangunan daerah, disegala bidang, baik dibidang kesehatan
masyarakat,pendidikan, maupun dalam penyelenggaran kerja pemerintah daerah.
Begitu banyak penyalahgunaan fungsi pajak yang tidak sesuai dengan
undang-undang.
Pembahasan diatas dapat menjelaskan
secara ringkas objek pajak,wajib pajak, penyelesaian kasus perpajakan.
Bagaimana cara menghitung BPHTB serta kesiapan setiap pemkot dalam menangani
urusan pajak, yang harus sesuai dengan peraturan. Pemkot juga memiliki
tantangan yaitu pegawai pemkot harus memiliki wawasan dalam perpajakan dan
dalam memberikan pelayanan bagi wajib pajak. Bagaimanapun juga, langkah terbaik
yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan baru
ini adalah segera membenahi dan melengkapi segala kekurangan yang ada.
Seyogyanya, segala hambatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan
menjadi peluang.
B. SARAN
Pajak diharapkan langsung dapat
disalurkan kepada masyarakat, tanpa harus melalui pemerintah pusat, sebab
dengan melihat prosedur penyaluran pajak di Negara kita yang korup ini dapat
memberikan kesempatan bagi pihak-pihak tertentu untuk untuk melakukan
penyalahgunaan, baik karena ada kesempatan maupun karena pengetahuan masyarakat
kurang terhadap pajak sehingga, masalah urusan pajak masyarakat hanya bisa
percaya kepada pemerintah saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Darwin.
2012. Pendaerahan PBB. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/ok-pbb/1082-pendaerahan-pbb
Feberti
Zaluku, Maria Patriot. 2012. Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan.
Juliarini,
Aniek. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan
Pedesaan dan Perkotaan. http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/yogyakarta/index.php?option=com_content&view=article&id=329:pajak-bumi-dan-bangunan-pedesaan-dan-perkotaan-makalah&catid=3:berita&Itemid=11
Priandana,
Hernanda Bagus. 2009. Keberadaan Pajak
Bui dan Bangunan Sebagai Pajak Pusat Dalam Era Otonomi Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar