Rabu, 25 Desember 2013

RUANG LINGKUP BIROKRASI

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Istilah birokrasi tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat terutama dalam penyediaan pelayanan publik atau bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigid (kaku). Hal tersebut karena birokrasi terikat oleh peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meskipun begitu, birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan. Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang.
Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis. Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan pelayanan publik di Negara Jepang sebagai contoh perwakilan Negara maju dan di Negara Indonesia sebagai contoh perwakilan dari Negara berkembang. Pelayanan publik yang akan diangkat adalah masalah pelayanan publik yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa khususnya dalam bidang transformasi.
B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah, yaitu :
1.    Defenisi Birokrasi
2.    Karateristik Birokrasi
3.    Model Birokrasi
4.    Birokrasi Pemerintahan
5.    Kritik Terhadap Birokrasi
6.    Kelemahan Birokrasi Di Negara Berkembang
7.    Etika Birokrasi Dan Birokrasi Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.   DEFENISI BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor, dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration. Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
·         Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
·         Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai :
·         Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat
·         Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Dalam pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial.
B.   KARAKTERISTIK BIROKRASI
Menurut pandangan Max Weber birokrasi memiliki karakteristik sebagai berikut :
ü  Organisasi yang disusun secara hirarkis.
ü  Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
ü  Pelayanan public terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
ü  Seorang pelayan public menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
ü  Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
ü  Para pejabat tidak memiliki sendiri kantor mereka.
ü  Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
ü  Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan.


C.   MODEL BIROKRASI
1.    Weberian
Karakteristik Birokrasi Weber adalah individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2.    Birokrasi Marxis
Marx berpendapat negara itu bukan mewakili kepentingan umum. Tidak ada kepentingan umum (general) itu, yang ada ialah kepentingan particular lainnya. Kepentingan particular yang memenangkan perjuangan klas sehingga menjadi klas yang dominan itulah yang berkuasa. Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok particular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakatb ke dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
3.    Birokrasi parkinsonian
Birokrasi ParkinsonianMerupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkankapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan pembangunan yang semakin menumpuk.
D.   BIROKRASI PEMERINTAHAN
Di negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang di idealkan oleh Max Weber nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “ birokrasi kerajaan ” yang feudal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi. 
Dalam model Weber, tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:
ü  Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi
ü  Jabatan di pandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan
ü  Pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik ataupun administrative
ü  Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik

E.   KRITIK TERHADAP BIROKRASI
Kritik terhadap konsep birokrasi Weber muncul dari R. V. Presthus. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat.. Ia menganggap bahwa konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non barat. Salah satu contohnya adalah ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang mendasar antara pola perilaku masyarakat Turki dan pola perilaku masyarakat di Barat. Berdasarkan kritik yang dikemukakan oleh Presthus terhadap teori birokrasi ala  Max Weber, maka dapat saya analisis, pertama bahwa teori birokrasi Weber tepatnya tipe ideal birokrasi  memang  belum  tentu  cocok  untuk  diterapkan  di semua Negara terlebih Indonesia. Karena perilaku setiap warga Negara atau birokrat disetiap  negara tentu  saja  berbeda.
Idealnya memang yang seperti Weber rumuskan dalam teorinya, tapi prakteknya belum tentu semua tipe ideal tersebut dapat dijalankan. Menurut saya tipe ideal atau karakter ideal Weber  cenderung otoritatif, apabila ini diterapkan  di Indonesia tentu saja akan banyak masalah yang terjadi mengingat perilaku para birokrat  yang  terang-terang menunjukan perilakunya  yang amat buruk. Jika menurut Weber bahwa birokrasi itu adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan, maka  birokrasi Indonesia jauh dari kesan tersebut, bahkan timbul persepsi negative dari masyarakat bahwa birokrasi merupakan prosedur yang rumit dan berbelit-belit jauh dari kesan organisasi rasional. Jadi dapat disimpulkan bahwa tipe atau karkteristik birokrasi Weber belum tentu cocok diterapkan disemua negara. Kedua, dalam stuktur karier yang Weber kemukakan dalam karakteristik ideal birokarasi menyatakan bawa System promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi atau  kedua-duanya. Disini terdapat ketidakjelasan dalam stuktur karier karena sebelumnya Weber menyatakan setiap tugas dilakasanakan oleh ahli yang terspesialisasi dan perlakuan yang sama tehadap semua orang sehingga mendorong demokrasi dalam system administrasi.
Jika dari awal telah menyatakan pentingnya ahli yang terspesialisasi maka seharusnya dalam struktur karier harusnya ditentukan berdasarkan keahlian setiap individu bukan senioritas. Kemudian saya melihat dalam teori Weber ini seakan segala sesuatu diputuskan oleh atasan tanpa melibatkan bawahan. Pada akhirnya timbul ketidakjelasan akan siapa yang berhak memperoleh kedudukan paling atas dan patut untuk di hormati, apakah orang-orang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk memerintah atau orang-orang yang mempunya keahlian paling baik. Ketiga, disini Weber hanya memaparkan mengenai idealnya karateristik suatu birokrasi tanpa menyertakan berbagai kendala yang akan dihadapi berserta alternative lainnya yang membuat birokarasi tetap ideal mengingat akan sulit untuk mencapai semua yang dirumuskan oleh  Weber. Karena apabila salah satu karakteristik itu sama sekali tidak dapat dilaksanakan dan menemui berbagai kendala, maka apakah Weber masih menyatakan birokrasinya ideal? Oleh karena itu sepatutnya Weber memberikan alternative lain dari karakteristik ideal birokrasi yang telah ia kemukakan.
F.   KELEMAHAN BIROKRASI DI NEGARA BERKEMBANG
Untuk melaksakanan pengembangan kelembagaan pemerintahan perlu menelusuri keadaan kelembagaan di negara berkembang pada umumnya. Tingkat perkembangan kelembagaan di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai ekologi adminisrasi. Ekologi administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan mengenali berbagai indikator itu kita akan memperoleh gambaran mengenai ekologi administrasi di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ekologi administrasi di negara berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang tidak terlalu menguntungkan bagi bekerjanya kelembagaan. Sebaliknya, kelembagaan yang terbelakang, artinya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi kelembagaan yang seharusnya, akan memperburuk keadaan atau lingkungannya. Hubungan timbal balik antara kelembagaan dan lingkungan ini amat besar intensitasnya dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi lainnya.
Pendekatan untuk telaah pengembangan kelembagaan pemerintahan akan dilakukan dari sisi administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari sistem administrasi negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada birokrasi, baik sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi, yang memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat umum (overall) yang mempengaruhi pelayanan publik yang bersifat tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial ekonomi di negara berkembang. Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred W. Riggs menjelaskan bahwa birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Menurut Fred W. Riggs, Hoessein bahwa istilah birokrasi dapat dipilah menurut “content” dan “context”nya. Konteks merujuk pada setting dari birokrasi itu berada, yang dapat dibedakan atas birokrasi private dan birokrasi publik. Birokrasi publik terbagi atas birokrasi partai, birokrasi dalam lembaga legislatif, birokrasi dalam lembaga yudisial, dan birokrasi eksekutif bahkan birokrasi dari perusahaan negara. Konten dipilah atas dua dimensi: sipil-militer dan karir non karir sehingga hasilnya menjadi empat sel, yakni: sipil karir, sipil non karir, militer karir dan militer non karir.
Studi awal mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya diberikan oleh Riggs (1985). Ia menggambarkan taraf-taraf perkembangan administrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yang paling maju. Riggs mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai the theory of prismatic society, di mana ia menempatkan fase transisi dalam perkembangan suatu masyarakat sebagai prismatic society, yang apabila ditarik garis linear terletak antara apa yang dinamakan sebagai fused society untuk masyarakat tradisional dan diffracted society untuk masyarakat yang lebih maju. Istilah-istilah tersebut dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta, khususnya ilmu fisika dengan menggunakan sifat-sifat yang dimiliki suatu prisma terhadap cahaya. Model birokrasi pada masyarakat yang prismatis disebutnya sebagai bureau atau “sala model” dan untuk masyarakat tradisional atau fused society model administrasinya disebut “chamber”, sedangkan untuk masyarakat yang telah maju atau diffracted diberinya istilah “office”.
Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual. Adapun masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar.
Rumusan ini diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Dalam kultur masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia.  Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai ciri khas masyarakat model prismatik. Riggs melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di banyak negara berkembang.
Menurut Fred W. Riggs (1985) administrasi pembangunan berkaitan dengan proses adminstrasi dari suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan terutama oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang telah direncanakan guna menemukan sasaran pembangunan (pembangunan admistrasi). Administrasi pembangunan dikaitkan dengan implikasinya, sehingga apabila suatu program pembangunan berhasil dilaksanakan, dengan sendirinya akan mendorong perubahan-perubahan dalam berbagai bidang (administrasi pembangunan). Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).
Seorang ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs, 1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan sistem politik atau tradisi kebudayaannya. Menurut Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat umum (common) di negara berkembang. Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.
G.   ETIKA BIROKRASI DAN BIROKRASI DI INDONESIA
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008). Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia (Simorangkir : 1978). Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Inilah prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max Weber (Max Weber : 1946). Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya. Etika jabatan atau etika birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya (Suyamto : 1989). Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai etis tetapi terasa abstrak juga terdapat dalam sumpah jabatan pegawai negeri yang harus diucapkan pada saat mereka dilantik (Kumorotomo : 1999).
Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan pekerjaannya tidak sesuai dengan aturan dan kode etik yang berlaku. Beberapa gambaran tentang birokrasi pemerintahan di Indonesia yang berhubungan dengan konteks etika antara lain :
·         Segala bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop. Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
·         Banyaknya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
·         Masih banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
·         Adanya indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
·         Adanya mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
·         Belakangan ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu. Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka dan terpidana.









BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid dan kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting di dalam masyarakat salah satunya adalah melaksanakan pelayanan publik. Pelaksanaan birokrasi dalam hal pelayanan publik di setiap negara tentunya berbeda, begitu juga diantara negara berkembang dengan negara maju.
Di negara berkembang yaitu Indonesia, pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sepertinya belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak semua lapisan masyarakat yang belum menikmati pelayanan yang ada dan birokrasinya sangat berbelit-belit. Dilihat dari pelayanan transportasi publik, Indonesia bisa dikatakan kurang memadai. Seperti yang kita ketahui dalam penyediaan transportasi umum masih banyak angkutan umum seperti bus atau angkutan perkotaan, yang sebenarnya sudah tidak layak untuk digunakan namun tetap digunakan karena alasan kekurangan biaya, maka yang terjadi adalah banyak angkutan umum yang memaksakan muatan untuk mengangkut penumpang sementara keselamatan mereka cenderung diabaikan.
B. SARAN
Adapun rekomendasi yang diberikan dapat kepada pemerintah dan masyarakat. Di Indonesia, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan memperbaharui sistem birokrasi yang ada dalam penyediaan pelayanan publik, seperti memperbaiki infrastruktur yang ada, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kenyamanan dan keselamatan masyarakat yang menggunakan angkutan umum khususnya kereta api. Selain itu, perlu adanya kontrak bernegara dan paksaan sah terhadap lembaga dan aparat public untuk memberikan pelayanan yang mudah, murah, memiliki kepastian hukum, dan kepastian tanggung jawab. Dengan itu semua diharapkan akan mengurangi beban ekonomi sekaligus memberi peluang meningkatkan produktifitas bagi warga Negara. Dengan studi perbandingan dengan negara Jepang yang telah kami lakukan dalam hal pelayanan transportasi pelayanan publik kepada masyarakat diharapkan pemerintah dapat memberikan perbaikan dengan mengambil keunggulan-keunggulan dalam hal pelayanan transportasi publik yang ada di negara Jepang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar