BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Istilah birokrasi
tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat terutama dalam penyediaan
pelayanan publik atau bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama,
bertele-tele, dan rigid (kaku). Hal tersebut karena birokrasi terikat oleh
peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meskipun begitu, birokrasi
merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana,
pelaksana, dan pengawas kebijakan. Pelaksanaan
birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang
dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan
berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang.
Birokrasi yang
diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat
terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya
seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan
kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis. Di Negara berkembang, pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi
informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada
sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik.
Oleh karena itu,
dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan pelayanan publik di
Negara Jepang sebagai contoh perwakilan Negara maju dan di Negara Indonesia
sebagai contoh perwakilan dari Negara berkembang. Pelayanan publik yang akan
diangkat adalah masalah pelayanan publik yang terjadi dalam pengadaan barang
dan jasa khususnya dalam bidang transformasi.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian diatas
maka penulis dapat merumuskan masalah, yaitu :
1.
Defenisi Birokrasi
2.
Karateristik Birokrasi
3.
Model Birokrasi
4.
Birokrasi Pemerintahan
5.
Kritik Terhadap Birokrasi
6.
Kelemahan Birokrasi Di Negara Berkembang
7.
Etika Birokrasi Dan Birokrasi Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
BIROKRASI
Birokrasi berasal
dari kata “bureau” yang berarti meja
atau kantor,
dan kata “kratia” (cratein) yang
berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada
suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor
melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa
Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga
sering disebut dengan public sector, public service atau public administration. Definisi birokrasi telah
tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis
memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari
kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813,
mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai
departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka
sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823
mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan.
Birokrasi
berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem
kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional
dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan
aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas
administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser &
Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998). Sementara itu, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
·
Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan
·
Cara
bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan
(adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini
mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai :
·
Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh
rakyat
·
Cara
pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan
definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan
atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). Berbicara soal birokrasi, tidak
bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman,
dalam karyanya ”The Theory of Economy and
Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe
ideal) birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan
birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan
tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Weber
membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang
dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional
(traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang
diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority)
mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan
bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational
authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan.
Secara filosofis dalam
paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan
mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian
efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi
dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi
formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan
yang ditetapkan pemerintahan. Dalam
pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur
subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya
impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di
dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl
Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan
pembebasan dan transformasi sosial.
B.
KARAKTERISTIK
BIROKRASI
Menurut
pandangan Max Weber birokrasi memiliki karakteristik sebagai berikut :
ü Organisasi yang disusun secara
hirarkis.
ü Setiap bagian memiliki wilayah
kerja khusus.
ü Pelayanan public terdiri atas
orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut
didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
ü Seorang pelayan public menerima
gaji pokok berdasarkan posisi.
ü Pekerjaan sekaligus merupakan
jenjang karir.
ü Para pejabat tidak memiliki
sendiri kantor mereka.
ü Setiap pekerja dikontrol dan
harus disiplin.
ü Promosi yang ada didasarkan
atas penilaian atasan.
C.
MODEL BIROKRASI
1.
Weberian
Karakteristik Birokrasi Weber
adalah individu
pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia
menjalankan tugas-tugas atau bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan
kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2. Birokrasi Marxis
Marx berpendapat negara itu
bukan mewakili kepentingan umum. Tidak ada kepentingan umum (general) itu, yang
ada ialah kepentingan particular lainnya. Kepentingan particular yang
memenangkan perjuangan klas sehingga menjadi klas yang dominan itulah yang
berkuasa. Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok particular yang
sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya
berkaitan dengan pembagian masyarakatb ke dalam klas-klas tertentu. Lebih
tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu
sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial
lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang
mendominasi tersebut.
3. Birokrasi parkinsonian
Birokrasi ParkinsonianMerupakan
model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.Parkinsonian
dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk
meningkatkankapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain
Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan pembangunan yang
semakin menumpuk.
D.
BIROKRASI
PEMERINTAHAN
Di negara-negara
berkembang, tipe birokrasi yang di idealkan oleh Max Weber nampak belum dapat
berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang
Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi
yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan
sejenis “ birokrasi kerajaan ” yang feudal-aristokratik. Sehingga dalam upaya
penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk luarnya saja, belum
tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati
pengertian Weber mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku
di dalam hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi.
Dalam model
Weber, tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan
yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan
ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala Weber yang
hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:
ü Pejabat-pejabat disaring atas
kinerja pribadi
ü Jabatan di pandang sebagai
sumber kekuasaan atau kekayaan
ü Pejabat-pejabat mengontrol,baik
fungsi politik ataupun administrative
ü Setiap tindakan diarahkan oleh
hubungan pribadi dan politik
E.
KRITIK
TERHADAP BIROKRASI
Kritik terhadap
konsep birokrasi Weber muncul dari R. V. Presthus. Presthus mengamati
kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat.. Ia menganggap bahwa konsep
birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non barat. Salah satu
contohnya adalah ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki,
dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah
seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Dengan kata
lain terdapat perbedaan yang mendasar antara pola perilaku masyarakat Turki dan pola perilaku
masyarakat di Barat. Berdasarkan kritik yang dikemukakan oleh Presthus terhadap teori birokrasi ala Max Weber, maka dapat saya analisis, pertama bahwa teori birokrasi Weber tepatnya tipe ideal
birokrasi memang belum tentu cocok untuk diterapkan di semua Negara terlebih Indonesia. Karena perilaku setiap warga Negara atau birokrat disetiap negara tentu saja berbeda.
Idealnya memang yang seperti Weber rumuskan dalam teorinya, tapi prakteknya belum tentu semua tipe ideal tersebut dapat dijalankan. Menurut saya tipe ideal atau karakter ideal Weber cenderung otoritatif, apabila ini diterapkan di Indonesia tentu saja akan banyak masalah yang terjadi mengingat perilaku para birokrat yang terang-terang menunjukan perilakunya yang amat buruk. Jika menurut Weber bahwa birokrasi itu adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan, maka birokrasi Indonesia jauh dari kesan tersebut, bahkan timbul persepsi negative dari masyarakat bahwa birokrasi merupakan prosedur yang rumit dan berbelit-belit jauh dari kesan organisasi rasional. Jadi dapat disimpulkan bahwa tipe atau karkteristik birokrasi Weber belum tentu cocok diterapkan disemua negara. Kedua, dalam stuktur karier yang Weber kemukakan dalam karakteristik ideal birokarasi menyatakan bawa System promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Disini terdapat ketidakjelasan dalam stuktur karier karena sebelumnya Weber menyatakan setiap tugas dilakasanakan oleh ahli yang terspesialisasi dan perlakuan yang sama tehadap semua orang sehingga mendorong demokrasi dalam system administrasi.
Jika dari awal telah menyatakan pentingnya ahli yang terspesialisasi maka seharusnya dalam struktur karier harusnya ditentukan berdasarkan keahlian setiap individu bukan senioritas. Kemudian saya melihat dalam teori Weber ini seakan segala sesuatu diputuskan oleh atasan tanpa melibatkan bawahan. Pada akhirnya timbul ketidakjelasan akan siapa yang berhak memperoleh kedudukan paling atas dan patut untuk di hormati, apakah orang-orang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk memerintah atau orang-orang yang mempunya keahlian paling baik. Ketiga, disini Weber hanya memaparkan mengenai idealnya karateristik suatu birokrasi tanpa menyertakan berbagai kendala yang akan dihadapi berserta alternative lainnya yang membuat birokarasi tetap ideal mengingat akan sulit untuk mencapai semua yang dirumuskan oleh Weber. Karena apabila salah satu karakteristik itu sama sekali tidak dapat dilaksanakan dan menemui berbagai kendala, maka apakah Weber masih menyatakan birokrasinya ideal? Oleh karena itu sepatutnya Weber memberikan alternative lain dari karakteristik ideal birokrasi yang telah ia kemukakan.
F.
KELEMAHAN
BIROKRASI DI NEGARA BERKEMBANG
Untuk
melaksakanan pengembangan kelembagaan pemerintahan perlu menelusuri keadaan
kelembagaan di negara berkembang pada umumnya. Tingkat perkembangan kelembagaan
di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut
sebagai ekologi adminisrasi. Ekologi administrasi meliputi kondisi negara dan
bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan mengenali berbagai
indikator itu kita akan memperoleh gambaran mengenai ekologi administrasi di
suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ekologi administrasi
di negara berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang tidak terlalu
menguntungkan bagi bekerjanya kelembagaan. Sebaliknya, kelembagaan yang
terbelakang, artinya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi
kelembagaan yang seharusnya, akan memperburuk keadaan atau lingkungannya.
Hubungan timbal balik antara kelembagaan dan lingkungan ini amat besar
intensitasnya dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi lainnya.
Pendekatan untuk
telaah pengembangan kelembagaan pemerintahan akan dilakukan dari sisi
administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari sistem administrasi
negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada birokrasi, baik
sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya. Yang
dimaksud dengan birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi,
yang memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat umum (overall) yang mempengaruhi
pelayanan publik yang bersifat tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial
ekonomi di negara berkembang. Mengenai
cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred W. Riggs menjelaskan bahwa
birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang
melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah
karena statusnya itu. Menurut Fred W. Riggs, Hoessein bahwa istilah
birokrasi dapat dipilah menurut “content” dan “context”nya. Konteks merujuk
pada setting dari birokrasi itu berada, yang dapat dibedakan atas
birokrasi private dan birokrasi publik. Birokrasi publik terbagi atas
birokrasi partai, birokrasi dalam lembaga legislatif, birokrasi dalam lembaga
yudisial, dan birokrasi eksekutif bahkan birokrasi dari perusahaan negara.
Konten dipilah atas dua dimensi: sipil-militer dan karir non karir sehingga
hasilnya menjadi empat sel, yakni: sipil karir, sipil non karir, militer karir
dan militer non karir.
Studi awal
mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya diberikan oleh Riggs
(1985). Ia menggambarkan taraf-taraf perkembangan administrasi mulai dari
tingkat terbelakang sampai yang paling maju. Riggs mengemukakan suatu teori
yang dikenal sebagai the theory of prismatic society, di mana ia
menempatkan fase transisi dalam perkembangan suatu masyarakat
sebagai prismatic society, yang apabila ditarik garis linear terletak
antara apa yang dinamakan sebagai fused society untuk masyarakat
tradisional dan diffracted society untuk masyarakat yang lebih maju.
Istilah-istilah tersebut dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta, khususnya
ilmu fisika dengan menggunakan sifat-sifat yang dimiliki suatu prisma terhadap
cahaya. Model birokrasi pada masyarakat yang prismatis disebutnya
sebagai bureau atau “sala model” dan untuk masyarakat tradisional
atau fused society model administrasinya disebut “chamber”, sedangkan
untuk masyarakat yang telah maju atau diffracted diberinya istilah
“office”.
Dalam bukunya
Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis
(1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik,
dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat
askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat
tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan,
supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara.
Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa
adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta
tekstual. Adapun
masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat
terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai
lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan
rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara
masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas
budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk
memusat menuju memencar.
Rumusan ini
diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk
ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga
memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik
biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Dalam kultur
masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan
pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas
menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia.
Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai ciri khas
masyarakat model prismatik. Riggs
melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah
berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society,
fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum
berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi
tersebut telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma
menunjukkan masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari
birokrasi di banyak negara berkembang.
Menurut Fred W.
Riggs (1985) administrasi pembangunan berkaitan dengan proses adminstrasi dari
suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan terutama oleh
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang telah direncanakan
guna menemukan sasaran pembangunan (pembangunan admistrasi). Administrasi
pembangunan dikaitkan dengan implikasinya, sehingga apabila suatu program
pembangunan berhasil dilaksanakan, dengan sendirinya akan mendorong
perubahan-perubahan dalam berbagai bidang (administrasi pembangunan).
Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata
pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke
arah keadaan yang lebih baik. Menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang
menguntungkan (favourable value orientation).
Seorang ilmuwan
administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs, 1994:66)
menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi
diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian
wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan
kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan
bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap
sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan
korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam
negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan
sistem politik atau tradisi kebudayaannya. Menurut
Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada
baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat umum
(common) di negara berkembang. Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi
yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola
dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat
jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik
negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem
administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola
negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa
di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat,
bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan
kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri
diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri.
Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi
kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan
lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi
oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang
masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi
di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk
menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi
kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang
mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang
adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management
capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan
penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini
mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu
berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang
berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga
berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan
itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni
pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh
pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal
institutions).
Ketiga, birokrasi
lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang
benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat
lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian
sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat
atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat
(public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme,
penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang
menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki
kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara
berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena
yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut
istilah Heady sanctioned by social mores dan semi institutionalized.
Keempat, adanya
kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan
dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1985)
menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih
berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang
sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan
yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri
oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi
dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak
mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran
yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi
dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses
politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi
kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial
yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang,
pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan
memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat
menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya
pengawasan menjasi tidak efektif.
G.
ETIKA
BIROKRASI DAN BIROKRASI DI INDONESIA
Etika berasal
dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak,
sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara
hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril dan norma,
moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan norma dalam bahasa
Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu
cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi
manusia (Kumorotomo : 2008). Etika
adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi
norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam
perikehidupan manusia (Simorangkir
: 1978). Menurut
Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas.
Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis
yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu
sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama
di negara-negara berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Inilah prinsip
dasar dan karakteristik yang ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max
Weber (Max Weber : 1946). Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak
memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas
dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari
pegawainya. Etika
jabatan atau etika birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas
yang dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung
jawab tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh
pemegang jabatan tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian
etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian
mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi
normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kedudukan etika administrasi
negara berada di antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan
dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap
orang tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul
dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah
suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau
sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu
organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu
biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu
patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam
menjalankan tugasnya (Suyamto : 1989). Salah
satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat
pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan
yang mengandung nilai-nilai etis tetapi terasa abstrak juga terdapat dalam
sumpah jabatan pegawai negeri yang harus diucapkan pada saat mereka dilantik
(Kumorotomo : 1999).
Pejabat
pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika
jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral
kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan
pekerjaannya tidak sesuai dengan aturan dan kode etik yang
berlaku. Beberapa gambaran tentang birokrasi pemerintahan di Indonesia
yang berhubungan dengan konteks etika antara lain :
·
Segala
bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme
dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara
kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop.
Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi
sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi
negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
·
Banyaknya
kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara
kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta
pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu
kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi
yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam
pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
·
Masih
banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN
dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi
Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam
laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
·
Adanya
indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat
administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah
dalam pengadaan barang dan jasa.
·
Adanya
mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain
kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo
Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya
kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamzah.
·
Belakangan
ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia
pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan
yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam
pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu.
Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan
kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar
dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus
tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini
memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka
dan terpidana.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Birokrasi adalah
kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip
ideal bekerjanya suatu organisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid
dan kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting di dalam
masyarakat salah satunya adalah melaksanakan pelayanan publik. Pelaksanaan
birokrasi dalam hal pelayanan publik di setiap negara tentunya berbeda, begitu
juga diantara negara berkembang dengan negara maju.
Di negara berkembang
yaitu Indonesia, pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
sepertinya belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak semua lapisan
masyarakat yang belum menikmati pelayanan yang ada dan birokrasinya sangat
berbelit-belit. Dilihat dari pelayanan transportasi publik, Indonesia bisa
dikatakan kurang memadai. Seperti yang kita ketahui dalam penyediaan
transportasi umum masih banyak angkutan umum seperti bus atau angkutan
perkotaan, yang sebenarnya sudah tidak layak untuk digunakan namun tetap
digunakan karena alasan kekurangan biaya, maka yang terjadi adalah banyak
angkutan umum yang memaksakan muatan untuk mengangkut penumpang sementara
keselamatan mereka cenderung diabaikan.
B. SARAN
Adapun
rekomendasi yang diberikan dapat kepada pemerintah dan masyarakat. Di
Indonesia, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan memperbaharui sistem
birokrasi yang ada dalam penyediaan pelayanan publik, seperti memperbaiki
infrastruktur yang ada, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kenyamanan dan
keselamatan masyarakat yang menggunakan angkutan umum khususnya kereta
api. Selain itu, perlu adanya kontrak bernegara dan paksaan sah terhadap
lembaga dan aparat public untuk memberikan pelayanan yang mudah, murah,
memiliki kepastian hukum, dan kepastian tanggung jawab. Dengan itu semua
diharapkan akan mengurangi beban ekonomi sekaligus memberi peluang meningkatkan
produktifitas bagi warga Negara. Dengan studi perbandingan dengan negara Jepang
yang telah kami lakukan dalam hal pelayanan transportasi pelayanan publik
kepada masyarakat diharapkan pemerintah dapat memberikan perbaikan dengan
mengambil keunggulan-keunggulan dalam hal pelayanan transportasi publik yang
ada di negara Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar