REFORMASI SISTEM
ATAUKAH REFORMASI KARAKTER
Menelisik jauh kedalam sistem pemerintahan negara kita,
maka mutlak sebuah kata untuk disandangnya, Demokrasi. Yah, demokrasi seperti
kata orang-orang di pasaran, menjadi buah bibir mereka yang saling melakukan bentuk
interaksi tawar-menawar. Tampak seperti memperjual-belikan sesuatu dengan nilai
dan harga demokrasi yang mereka sepakati bersama. Yah, benar wajah demokrasi di
negara kita seakan menjadi barang yang siap dilelang kepada siapa saja yang
berani mematok dengan harga yang tertinggi. Tak salah muncul anggapan orang
kalau demokrasi kekinian malah menjadi bomerang terhadap bangsa kita sendiri,
ibarat warna hitam-putih. Disatu sisi membawa kegelapan yang begitu pekat, akan
tetapi dilain sisi juga membawa cahaya untuk menerangi. Pertanyaannya adalah
bagaimana jikalau warna hitamlah yang lebih mendominasi corak demokrasi ?
Meskipun Indonesia menjadi peringkat 3 dunia sebagai
negara demokrasi, akan tetapi konsekuensi logis dari sebuah proses demokrasi
adalah kebebasan yang kini masyarakat cenderung memaknai sebagai kebebasan yang
absolut. Maka tak salah merebaknya demam korupsi dihampir seluruh lini
kehidupan kenegaraan adalah salah satu buah pahit dari sebuah demokrasi. Salah
satu riset oleh sebuah perusahaan konsultan “Political and Economic Risk
Concultancy (PERC)” dalam rilisannya tahun 2010
menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat 1 negara
terkorup dari 16
negara Asia-Pasifik. Memang terdengar miris tapi itulah kenyataan pahit yang
mesti kita cicipi bersama sebagai bangsa Indonesia. Lantas apa yang salah
dengan demokrasi di negara kita ? Bukannya demokrasilah yang menjadi titik awal
kebangkitan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan sistem yang hanya
dikuasai kaum elit semata. Demokrasi jualah yang melahirkan peradaban baru
dalam sistem pemerintahan dengan mengatasnamakan idealisme pancasila sebagai
satu-satunya konsepsi menuju kedaulatan negara.
Berbagai sistem yang telah didesain sedemikian rupa
dengan bentuk dan jenis formatur birokrasi seakan tak menjadi problem solving untuk mencapai tujuan
negara yang hakiki. Mulai dari rezim orda lama sampai orde baru, hingga
lahirnya sebuah gagasan reformasi birokrasi tidaklah menjadi solusi atas permasalahan
negara yang begitu kompleks. Sebab bukan hanya satu indikator yang menjadi
topik pembicaraan atas ketimpangan-ketimpangan sosial dalam birokrasi
pemerintahan. Mulai dari isu-isu sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya,
hingga pertahanan keamanan negara seakan tiada hentinya menggerogoti media-media
nasional. Hal ini memang membuktikan bahwasanya kondisi Indonesia saat ini
benar-benar tidak sedang baik-baik saja.
Regulasi kebijakan pun yang dirumuskan oleh para
pengambil kebijakan terhadap fenomena sosial hanya tampak sebagai formalitas
belaka dengan mengcover kepentingan rakyat. Bagaimana kemudian kebijakan tadi
diselipkan benang-benang merah dengan jarum kepentingan politik didalamnya.
Jelas, kini masyarakat hanya dijadikan kambing hitam oleh segelintir elit
pemerintahan. Tak heran realita mengungkap orang kaya semakin kaya sementara
orang miskin semakin miskin. Sebuah analisis kebijakan idealnya melakukan
formulasi berdasarkan fenomena-fenomena sosial yang ada dimasyarakat. Sehingga
dalam implementasinya benar-benar pro-rakyat dan menjadi solusi sosial.
Reformasi terhadap dimensi pemerintahan yang kita kenal
dengan istilah reformasi birokrasi sebenarnya sebuah konsep yang sangat relevan
ketika semua aparatur negara betul-betul memahai substansi elemen
masing-masing. Titik persoalannya adalah muncul kesenjangan antara cita-cita
reformasi birokrasi dengan cita-cita birokrat itu sendiri. Perilaku birokrasi
yang dari rezim kerezim semakin jauh dari nilai-nilai luhur ideologi Pancasila,
terlebih dalam konteks pelayanan publik. Padahal pelayanan negara
terhadap warga negaranya merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan
diperjelas kembali dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang pelayanan publik
ini mengatur prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar
fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Akan tetapi, realitas menabir fakta lain terhadap kinerja
pelayanan publik di negara kita. Pelayanan baik hanya diperuntukkan bagi kaum
borjuis, sementara bagi kaum proletar tak sedikit mendapatkan pelayanan yang
minim terhadap kepentingan publik.
Status negara kita benar-benar diatas ambang
keamburadulan, krisis ketidakjelasan pada multidimensi pemerintahan tak kunjung
menemui titik terang. Pada hakikatnya, belenggu sistem pemerintahan bukanlah
yang menjadi akar dari permasalahan dan isu-isu sosial masa kini, melainkan
karena bangsa kita sudah kehilangan karakter. Jelas ketika karakter bangsa
mulai hilang, maka sistem yang dibentuk akan menuai keterombang-ambingan bahkan
sudah kehilangan arah. Pembentukan karakter mempunyai relevansi yang sangat besar
terhadap kualitas manusia. Manusia yang berkarakter cenderung memiliki kualitas
diatas rata-rata.
Sebuah riset tahun 2011 oleh Badan Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation Development Program/UNDP) merilis
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) terhadap
182 negara. Indeks ini menunjukkan kualitas
manusia berdasarkan klasifikasi kesehatan,
pendidikan, dan pendapatan dinegaranya. Indonesia memperoleh angka 0.617 terhadap Indeks
Pembangunan Manusia dan
menempati peringkat
124 dari 187 negara. Sementara hasil HDI Asia Timur dan Pasifik, Indonesia
mengalami peningkatan secara regional dari
0.428 pada tahun 1980 menjadi 0.671 saat ini, tetapi masih menempatkan Indonesia di bawah rata-rata
regional. Hal ini mengindikasikan kualitas manusia Indonesia
masih relatif sangat rendah dibanding negara-negara berkembang lainnya.
Beranjak dari paradigma tersebut sudah seharusnya
pemerintah selaku pihak penyelenggara negara melakukan regulasi kebijakan
terhadap peningkatan mutu dan kualitas manusia Indonesia. Bagaimana menyusun
kurikulum pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter sebagai pilar
peningkatan indeks pembangunan manusia. Sebagaimana prasyarat menuju sebuah negara yang maju adalah adalah
dengan menata-olah sistem pendidikan, agar mengeluarkan output yang memiliki daya kompetitor yang tinggi dengan menanamkan
nilai-nilai Pancasila sebagai karakter bangsa yang mutlak. Sebab dengan
karakter tersebut semoga moralitas bangsa juga terjaga dengan baik, nilai-nilai
Pancasila pun dapat terealisasi sebagaimana yang kita harapkan bersama, bukan
hanya menjadi teori ideologi semata. Sehingga, segala bentuk
ketimpangan-ketimpangan sosial tadi dapat diminimalisir dengan melekatnya rasa
toleransi yang tinggi diantara sesama. Saling memahami dan menghargai tiap-tiap
kepentingan masyarakat dan pemerintah sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan
tetap memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara. Sudah saatnya kita bangsa
Indonesia mulai menyuarakan kembali reformasi yang kala masa transisi menjadi
awal peradaban yang baru terhadap sistem pemerintahan Indonesia. Tetapi,
reformasi yang harus kita tegakkan kembali adalah “Reformasi Karakter” bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar