Selasa, 26 Februari 2013

OPINI


REFORMASI SISTEM ATAUKAH REFORMASI KARAKTER

Menelisik jauh kedalam sistem pemerintahan negara kita, maka mutlak sebuah kata untuk disandangnya, Demokrasi. Yah, demokrasi seperti kata orang-orang di pasaran, menjadi buah bibir mereka yang saling melakukan bentuk interaksi tawar-menawar. Tampak seperti memperjual-belikan sesuatu dengan nilai dan harga demokrasi yang mereka sepakati bersama. Yah, benar wajah demokrasi di negara kita seakan menjadi barang yang siap dilelang kepada siapa saja yang berani mematok dengan harga yang tertinggi. Tak salah muncul anggapan orang kalau demokrasi kekinian malah menjadi bomerang terhadap bangsa kita sendiri, ibarat warna hitam-putih. Disatu sisi membawa kegelapan yang begitu pekat, akan tetapi dilain sisi juga membawa cahaya untuk menerangi. Pertanyaannya adalah bagaimana jikalau warna hitamlah yang lebih mendominasi corak demokrasi ?
Meskipun Indonesia menjadi peringkat 3 dunia sebagai negara demokrasi, akan tetapi konsekuensi logis dari sebuah proses demokrasi adalah kebebasan yang kini masyarakat cenderung memaknai sebagai kebebasan yang absolut. Maka tak salah merebaknya demam korupsi dihampir seluruh lini kehidupan kenegaraan adalah salah satu buah pahit dari sebuah demokrasi. Salah satu riset oleh sebuah perusahaan konsultan “Political and Economic Risk Concultancy (PERC)” dalam rilisannya tahun 2010 menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat 1 negara terkorup dari 16 negara Asia-Pasifik. Memang terdengar miris tapi itulah kenyataan pahit yang mesti kita cicipi bersama sebagai bangsa Indonesia. Lantas apa yang salah dengan demokrasi di negara kita ? Bukannya demokrasilah yang menjadi titik awal kebangkitan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan sistem yang hanya dikuasai kaum elit semata. Demokrasi jualah yang melahirkan peradaban baru dalam sistem pemerintahan dengan mengatasnamakan idealisme pancasila sebagai satu-satunya konsepsi menuju kedaulatan negara.
Berbagai sistem yang telah didesain sedemikian rupa dengan bentuk dan jenis formatur birokrasi seakan tak menjadi problem solving untuk mencapai tujuan negara yang hakiki. Mulai dari rezim orda lama sampai orde baru, hingga lahirnya sebuah gagasan reformasi birokrasi tidaklah menjadi solusi atas permasalahan negara yang begitu kompleks. Sebab bukan hanya satu indikator yang menjadi topik pembicaraan atas ketimpangan-ketimpangan sosial dalam birokrasi pemerintahan. Mulai dari isu-isu sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, hingga pertahanan keamanan negara seakan tiada hentinya menggerogoti media-media nasional. Hal ini memang membuktikan bahwasanya kondisi Indonesia saat ini benar-benar tidak sedang baik-baik saja.
Regulasi kebijakan pun yang dirumuskan oleh para pengambil kebijakan terhadap fenomena sosial hanya tampak sebagai formalitas belaka dengan mengcover kepentingan rakyat. Bagaimana kemudian kebijakan tadi diselipkan benang-benang merah dengan jarum kepentingan politik didalamnya. Jelas, kini masyarakat hanya dijadikan kambing hitam oleh segelintir elit pemerintahan. Tak heran realita mengungkap orang kaya semakin kaya sementara orang miskin semakin miskin. Sebuah analisis kebijakan idealnya melakukan formulasi berdasarkan fenomena-fenomena sosial yang ada dimasyarakat. Sehingga dalam implementasinya benar-benar pro-rakyat dan menjadi solusi sosial.
Reformasi terhadap dimensi pemerintahan yang kita kenal dengan istilah reformasi birokrasi sebenarnya sebuah konsep yang sangat relevan ketika semua aparatur negara betul-betul memahai substansi elemen masing-masing. Titik persoalannya adalah muncul kesenjangan antara cita-cita reformasi birokrasi dengan cita-cita birokrat itu sendiri. Perilaku birokrasi yang dari rezim kerezim semakin jauh dari nilai-nilai luhur ideologi Pancasila, terlebih dalam konteks pelayanan publik. Padahal pelayanan negara terhadap warga negaranya merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas kembali dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang pelayanan publik ini mengatur prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Akan tetapi, realitas menabir fakta lain terhadap kinerja pelayanan publik di negara kita. Pelayanan baik hanya diperuntukkan bagi kaum borjuis, sementara bagi kaum proletar tak sedikit mendapatkan pelayanan yang minim terhadap kepentingan publik.
Status negara kita benar-benar diatas ambang keamburadulan, krisis ketidakjelasan pada multidimensi pemerintahan tak kunjung menemui titik terang. Pada hakikatnya, belenggu sistem pemerintahan bukanlah yang menjadi akar dari permasalahan dan isu-isu sosial masa kini, melainkan karena bangsa kita sudah kehilangan karakter. Jelas ketika karakter bangsa mulai hilang, maka sistem yang dibentuk akan menuai keterombang-ambingan bahkan sudah kehilangan arah. Pembentukan karakter mempunyai relevansi yang sangat besar terhadap kualitas manusia. Manusia yang berkarakter cenderung memiliki kualitas diatas rata-rata.
Sebuah riset tahun 2011 oleh Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation Development Program/UNDP) merilis Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) terhadap 182 negara. Indeks ini menunjukkan kualitas manusia berdasarkan klasifikasi kesehatan, pendidikan, dan pendapatan dinegaranya. Indonesia memperoleh angka 0.617 terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan menempati peringkat 124 dari 187 negara. Sementara hasil HDI Asia Timur dan Pasifik, Indonesia mengalami peningkatan secara regional dari 0.428 pada tahun 1980 menjadi 0.671 saat ini, tetapi masih menempatkan Indonesia di bawah rata-rata regional. Hal ini mengindikasikan kualitas manusia Indonesia masih relatif sangat rendah dibanding negara-negara berkembang lainnya.
Beranjak dari paradigma tersebut sudah seharusnya pemerintah selaku pihak penyelenggara negara melakukan regulasi kebijakan terhadap peningkatan mutu dan kualitas manusia Indonesia. Bagaimana menyusun kurikulum pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter sebagai pilar peningkatan indeks pembangunan manusia. Sebagaimana prasyarat  menuju sebuah negara yang maju adalah adalah dengan menata-olah sistem pendidikan, agar mengeluarkan output yang memiliki daya kompetitor yang tinggi dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai karakter bangsa yang mutlak. Sebab dengan karakter tersebut semoga moralitas bangsa juga terjaga dengan baik, nilai-nilai Pancasila pun dapat terealisasi sebagaimana yang kita harapkan bersama, bukan hanya menjadi teori ideologi semata. Sehingga, segala bentuk ketimpangan-ketimpangan sosial tadi dapat diminimalisir dengan melekatnya rasa toleransi yang tinggi diantara sesama. Saling memahami dan menghargai tiap-tiap kepentingan masyarakat dan pemerintah sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan tetap memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia mulai menyuarakan kembali reformasi yang kala masa transisi menjadi awal peradaban yang baru terhadap sistem pemerintahan Indonesia. Tetapi, reformasi yang harus kita tegakkan kembali adalah “Reformasi Karakter” bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar